Pernahkah Anda duduk di beranda rumah saat malam hari, lalu melihat cahaya kecil yang berkedip-kedip di antara pepohonan atau rerumputan? Yup cahaya itu adalah kunang-kunang. Serangga kecil yang sejak dahulu selalu berhasil menarik perhatian karena cahaya alaminya yang memikat. Sayangnya, bukannya dipandang sebagai bagian dari keajaiban alam, kunang-kunang justru sering dilingkupi berbagai mitos dan cerita mistis yang menimbulkan ketakutan, bukan kekaguman.
Bagi masyarakat Indonesia, kunang-kunang kerap dikaitkan dengan hal-hal supranatural. Masyarakat di sejumlah daerah memiliki kepercayaan bahwa kunang-kunang adalah jelmaan roh orang meninggal yang belum tenang. Mitos lainnya yang tak kalah populer adalah cahaya kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Konon, kuku orang mati tersebut lepas dan menjelma menjadi kunang-kunang.
Baca juga: Lima Fakta Tonggeret di Indonesia
Tidak hanya itu, ada pula kepercayaan yang menyebutkan bahwa seekor kunang-kunang yang masuk ke dalam rumah, menjadi isyarat akan datangnya musibah atau kematian salah satu anggota keluarga. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun dan masih dipercaya oleh sebagian masyarakat hingga kini. Tidak jarang, kemunculan kunang-kunang justru menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat, padahal tidak ada dasar ilmiah yang mendukung anggapan tersebut.
Mitos seperti ini memang lahir dari budaya dan kearifan lokal yang telah lama mengakar, terutama di masyarakat yang hidup sangat dekat dengan alam. Dalam konteks historis, cerita-cerita seperti ini berfungsi sebagai pengingat moral atau bentuk edukasi sosial. Namun, ketika mitos itu dipercaya secara harfiah dan tanpa pemahaman yang seimbang, ia justru dapat menciptakan stigma negatif terhadap makhluk hidup yang sebenarnya memiliki segudang manfaat bagi ekosistem dan alam.
Berdasarkan sains, kunang-kunang adalah serangga dari famili Lampyridae. Kunang-kunang memiliki kemampuan menghasilkan cahaya melalui proses biokimia yang disebut bioluminesensi. Cahaya ini muncul akibat reaksi antara zat luciferin, enzim luciferase, oksigen, dan ATP dalam tubuh kunang-kunang. Menariknya, cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang sangat efisien karena tidak menghasilkan panas. Cahaya tersebut digunakan sebagai alat komunikasi antar individu, terutama saat musim kawin. Pola cahaya yang dipancarkan berbeda-beda tergantung spesiesnya dan berfungsi sebagai "kode" untuk menarik pasangan.
Artikel ini juga menarik: Kenapa Kita Jijik pada Serangga, tetapi Tidak Jijik pada Nugget?
Namun, saat ini kunang-kunang menghadapi tantangan yang tidak kalah serius yaitu adanya polusi cahaya. Pencahayaan buatan dari lampu jalan, rumah, dan gedung telah membuat malam menjadi terlalu terang bagi kunang-kunang. Keberadaan cahaya tersebut mengecohkan mereka dalam mengenali sinyal cahaya dari spesiesnya. Banyak kunang-kunang yang gagal menemukan pasangan karena cahaya alami mereka kalah oleh cahaya lampu buatan manusia. Akibatnya, proses reproduksi terganggu dan populasi mereka terus menurun dari tahun ke tahun.
Kunang-kunang tidak hanya memiliki keunikan secara biologis, mereka juga berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Larva mereka memangsa siput, cacing, dan serangga kecil yang bisa menjadi hama tanaman. Selain itu, kehadiran kunang-kunang menjadi indikator lingkungan yang sehat karena mereka sangat peka terhadap polusi, baik kimia maupun cahaya. Ironisnya, adanya berbagai mitos yang keliru, kunang-kunang justru sering dianggap sebagai pembawa sial sehingga ada yang mengusirnya, bahkan membunuhnya karena takut dengan "tanda buruk" yang diasosiasikan dengannya.
Sudah saatnya kita memandang kunang-kunang dengan lebih jernih dan ilmiah. Mitos memang bagian dari budaya dan identitas masyarakat, namun pemahaman modern yang berbasis ilmu pengetahuan sangat penting untuk memperbaiki cara kita memperlakukan alam. Kita bisa tetap menghormati nilai-nilai tradisional, tetapi tidak perlu terjebak dalam ketakutan yang tidak berdasar.
Kunang-kunang bukan pertanda kematian, bukan jelmaan roh, dan bukan cahaya dari kuku orang mati. Ia adalah makhluk hidup yang unik, memiliki pancaran cahaya yang mencerminkan keindahan dan kecanggihan alam. Ia tidak membawa malapetaka, melainkan membawa pesan bahwa alam masih hidup dan bekerja dalam harmoni yang patut kita pelajari dan kita jaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI