Mohon tunggu...
Rostiana Gunawan
Rostiana Gunawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mungkin nanti aku menginjak ranah Perancis dengan aksen Bristish; tapi tak ada tempat seindah rumah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yang Paling Lelah

15 April 2014   08:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika aku lelah, aku selalu teringat jika orang tuaku adalah yang paling lelah.

Ah, aku masih saja membuang-buang waktu. Masih terlalu banyak kulakukan hal-hal yang sebenarnya tak ada artinya. Siapa pula yang mudah mengusir rasa malas? Tapi aku, aku, terlalu tak bisa. Terkadang aku bertanya-tanya sendiri dalam hati, “Kapan kamu akan memulai sebuah perubahan besar untuk hidupmu ke depan?” Iya. Kapan?

Aku memeluk piluku sendiri. Aku meringkuk hanya menatap bayangan. Aku membaringkan lelahku dalam gelap di kamar kecil tempatku tinggal. Ah, entahlah, semuanya menyenangkan memang. Namun, saat dunia mulai memandang rendah dan menatapmu seakan ingin membunuh; di mana sisi menyenangkan barusan? Apa kebingungan dengan pilihan dan mimpimu sendiri itu wajar? Ya, kuharap.

Untuk apa aku di sini? Tentu, apalagi kalau bukan demi mimpiku. Pula demi khawatirnya Mama menjelang tidurnya serta keringat Papa yang banting tulang cari nafkah. Aku merasa begitu egois ketika kalah dengan dunia; di saat orang tuaku bertaruh nyawa demi anaknya. Aku hanya duduk di pinggiran tempat tidur ketika Mama mengharapkanku mendapat nilai bagus. Aku hanya makan kemudian kembali tidur ketika Papa menyetujui kerja lembur demi aku tetap hati-hati dengan kesehatanku. Ya Tuhan, aku seegois itu?

Aku menulis ini setelah beberapa hari lalu Papa baru saja ambruk. Aku menyadari betapa aku menyia-nyiakan waktu kosongku berbulan-bulan kemarin. Aku terlalu banyak meminta tanpa berjuang untuk memberi. Tanganku sendiri tak henti menyeka aliran hangat yang mengalir dari mataku, kemarin. Mulutku menerus merapal doa agar sesuatu yang buruk takkan terjadi. Pikiranku terombang-ambing tak karuan. Bahkan, Mama yang kutahu jarang menunjukkan pilunya, kemarin terisak dalam sambungan telepon pada dini hari. Ah, aku pun tak pungkiri menerka segala kemungkinan buruk. Ya Tuhan, aku sejauh itu dengan-Mu ketika itu?

Aku menyimpannya sendiri. Percuma berbagi, memang ada yang mengerti? Lalu, hal yang tak pernah sekali pun kuduga terjadi; air menggenangi kamar sempitku. Bisa kaubayangkan? Aku tinggal di daerah pegunungan sekarang, dan semua ini bisa terjadi? Aku mengutuk diriku sendiri yang jarang mengurus kamar, buku berserakan, barang-barang tak pada tempatnya, dan pakaian masih berantakan. Ilmu berhargaku terendam dan hampir tak bisa kugunakan lagi.

Andai waktu itu aku tak menahan diriku untuk runtuh…

Tapi, aku tetap bertahan. Siapa lagi yang mampu menahanku selain diriku sendiri?

Sampai seminggu berjalan, semua perlahan kembali membaik. Kesehatan Papa mulai pulih. Papa sehat kembali, bagiku itu lebih dari cukup. Namun, aku melupakan diriku sendiri. Tukar posisi, sekarang aku yang ambruk. Aku hanya tak membiarkan seorang pun tahu, termasuk keluargaku. Aku mampu menangani ini sendiri; kesakitanku, kelelahanku, kesendirianku. Karena bagiku, semua itu kembali bukan lagi masalah besar kalau ini demi cita-cita besarku. Ah, iya benar, aku mulai melupakan mimpi bodohku.

Seseorang butuh mengalami terjatuh untuk mengetahui manisnya bangkit, bukan? Kurasa itu belum seberapa bila dibanding nanti, dengan semua misteri yang belum kulewati.

Ya, selama yang paling lelah masih orang tuaku, akan kucoba nikmati tatapan membunuh itu. Setidaknya, mulai detik ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun