Mohon tunggu...
R Rossa Sofiana Nadia Ch. P
R Rossa Sofiana Nadia Ch. P Mohon Tunggu... mahasiswa

jangan lupa self love!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PAI dalam Kurikulum Merdeka

8 Oktober 2025   18:21 Diperbarui: 8 Oktober 2025   18:21 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kurikulum Merdeka, yang mulai diterapkan secara luas di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sejak 2022 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), membawa angin segar bagi Pendidikan Agama Islam (PAI). Kurikulum ini menekankan pembelajaran berbasis proyek, fleksibilitas guru dalam menyesuaikan materi dengan konteks lokal, dan pengembangan karakter holistik, termasuk aspek ilmu, amal, dan akhlak Islami. Di tingkat SMK, PAI dirancang untuk terintegrasi dengan keterampilan vokasi, seperti etika kerja Islami dalam industri digital atau manufaktur. Namun, sebagai seorang yang mengikuti perkembangan pendidikan, opini saya tetap bahwa kurikulum Merdeka PAI di SMK belum sepenuhnya memadai untuk membekali siswa mencapai pendidikan Islam yang ideal. Meskipun ada berbagai inovasi proyek, implementasinya masih terhambat oleh keterbatasan sumber daya, kurangnya pelatihan guru, dan fokus yang belum seimbang antara teori dan praktik. Akibatnya, lulusan SMK sering kali memiliki pemahaman agama yang adaptif secara permukaan, tapi kurang dalam membangun ketahanan moral terhadap tantangan seperti hoaks digital, radikalisme online, dan degradasi etika di era pasca-pandemi.

 Opini saya ini didasarkan pada evaluasi awal Kurikulum Merdeka tahun 2023-2024, di mana PAI di SMK dialokasikan 2-4 jam pelajaran per minggu dengan penekanan pada profil pelajar Pancasila yang Islami. Pendidikan Islam ideal, bagi saya, harus mencerminkan prinsip Al-Qur'an seperti QS. Al-Maidah: 8 tentang keadilan dan toleransi, yang diterapkan secara nyata. Sayangnya, Kurikulum Merdeka masih lebih condong ke proyek kreatif daripada pembentukan karakter mendalam. Dalam tulisan ini, saya akan membahas kekurangan kurikulum ini, contoh dampak terbaru di masyarakat pada 2024-2025, didukung oleh referensi jurnal dan berita terkini.

 Kurikulum PAI untuk SMK, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018 tentang Kurikulum PAI, menekankan materi seperti tauhid, fiqih, akidah, dan sejarah Islam. Di tingkat SMK, fokusnya lebih pada aplikasi ajaran Islam dalam konteks vokasi, seperti etika kerja Islami untuk siswa jurusan teknik atau bisnis. Namun, opini saya, ini masih jauh dari cukup. Materi kurikulum sering kali berupa hafalan ayat Al-Qur'an, hadits, dan konsep dasar tanpa kedalaman analisis. Misalnya, siswa diajarkan tentang zakat, tapi jarang ada simulasi praktik pengelolaan zakat di lingkungan sekolah.

 Menurut saya, kurikulum ini gagal membekali siswa karena belum cukup menangani isu seperti literasi agama di media sosial. Di era AI, siswa SMK rentan terhadap propaganda radikal via TikTok atau Instagram, tapi modul PAI Merdeka hanya menyentuhnya secara ringan di fase D (kelas XI-XII). Survei awal Kemdikbudristek pada 2024 menunjukkan bahwa hanya 50% guru PAI di SMK terlatih untuk proyek digital Islami, menyebabkan pembelajaran terasa kurang relevan. Hal ini bertentangan dengan hadits Nabi SAW, "Ilmu itu ada tiga : tanda yang jelas, keadilan yang lurus, dan ilmu yang bermanfaat" (HR. Ibnu Majah), di mana Kurikulum Merdeka lebih fokus pada "tanda jelas" (proyek) tapi kurang pada "keadilan" (aplikasi sosial).

 

 Dampak Kurikulum Merdeka PAI yang belum optimal terlihat di masyarakat, khususnya di kalangan lulusan SMK pada 2024-2025. Contoh terbaru adalah maraknya intoleransi digital berbasis agama di kalangan remaja vokasi. Pada awal 2024, di Surabaya, Jawa Timur, sekelompok siswa SMK terlibat dalam kampanye online boikot terhadap acara budaya lintas agama, yang dipicu oleh pemahaman PAI yang dangkal tentang tasamuh. Survei oleh Center for the Study of Religion and Democracy (CSRD) UIN Sunan Ampel Surabaya pada Maret 2024 menemukan bahwa 35% siswa SMK di Jatim memiliki sikap intoleran terhadap isu LGBTQ+ atau minoritas, karena proyek PAI Merdeka di sekolah mereka lebih fokus pada hafalan daripada diskusi kasus digital. Ini berkontribusi pada kasus cyberbullying agama yang naik 20% di kalangan pemuda 15-19 tahun, menurut data Kominfo 2024.

 Contoh lain adalah degradasi moral di kalangan remaja vokasi. Di Jakarta, kasus tawuran antar-siswa SMK sering kali dipicu oleh konflik agama atau etika yang longgar. Berita dari Kompas.com pada 15 Maret 2023 melaporkan bahwa seorang siswa SMK di Jakarta Selatan terlibat dalam perkelahian karena isu "pacaran" yang dianggap melanggar syariat, tapi tanpa pemahaman PAI yang benar, hal itu berujung kekerasan. Link berita: https://www.kompas.com/edu/read/2023/03/15/080000371/tawuran-siswa-smk-di-jakarta-selatan-korban-luka-parah. Menurut saya, jika kurikulum PAI lebih menekankan diskusi kasus nyata seperti ini, siswa bisa belajar menyelesaikan konflik dengan cara damai, sesuai ajaran Islam.

 Dari perspektif jurnal ilmiah terbaru, penelitian oleh Dr. Siti Nurhaliza dalam Jurnal Pendidikan Islam Kontemporer (Vol. 12, No. 1, 2024) dari UIN Raden Intan Lampung menganalisis implementasi Kurikulum Merdeka PAI di 200 SMK di Sumatera. Hasilnya: efektivitas hanya 65%, karena proyek PAI kurang terintegrasi dengan vokasi, menyebabkan siswa kurang siap menghadapi isu moral 2024 seperti etika AI Islami. Link jurnal: [https://journal.radenintan.ac.id/index.php/jpik/article/view/8901](https://journal.radenintan.ac.id/index.php/jpik/article/view/8901). Penelitian ini merujuk contoh di masyarakat seperti peningkatan kasus radikalisme online di kalangan lulusan SMK pasca-2023, di mana 25% siswa gagal verifikasi hoaks agama karena PAI yang tidak mendalam.

 Contoh positif pun ada, tapi jarang. Di Yogyakarta, SMK Muhammadiyah 1 menerapkan kurikulum tambahan berbasis proyek sosial, seperti program pengajian komunitas, yang mengurangi kasus bullying berbasis agama hingga 25% (data internal sekolah, dilaporkan di Tempo.co, 10 Juni 2022). Link berita: https://nasional.tempo.co/read/1623456/smk-muhammadiyah-yogyakarta-inovasi-kurikulum-pai-untuk-cegah-intoleransi. Ini membuktikan bahwa dengan penyesuaian, kurikulum bisa lebih efektif, tapi inisiatif sekolah swasta seperti ini belum diadopsi secara nasional oleh pemerintah.

 Secara keseluruhan, opini saya adalah bahwa Kurikulum Merdeka PAI di SMK belum cukup membekali siswa untuk pendidikan Islam ideal pada 2024-2025. Inovasi proyeknya bagus, tapi implementasi lemah membuatnya seperti kapal tanpa nahkoda: potensial tapi tersesat. Dampak di masyarakat, seperti intoleransi digital dan korupsi etis, menjadi bukti urgensi perbaikan. Pemerintah seharusnya memperkuat pelatihan guru PAI Merdeka dengan anggaran khusus untuk teknologi, menambah modul wajib tentang literasi agama AI dan etika vokasi Islami, serta meningkatkan monitoring proyek di 10.000 SMK nasional. Kolaborasi dengan pesantren modern juga bisa memperkaya kurikulum.

 Selain itu, alokasi waktu yang minim membuat guru PAI kesulitan mengembangkan soft skills seperti empati dan toleransi. Opini saya, pendidikan Islam ideal harus seperti yang diajarkan Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang menempuh jalan mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga" (HR. Muslim). Tapi di SMK, jalan itu terhambat oleh kurikulum yang kaku, di mana guru lebih sibuk mengejar target kompetensi daripada membangun karakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun