Pendahuluan
Dewasa ini, disrupsi digital dan ketidakpastian ekonomi global mendorong bank sentral untuk mengambil peran yang semakin strategis dalam mengarahkan perekonomian nasional. Bank Indonesia tidak lagi hanya bertugas menjaga stabilitas moneter, tetapi juga berperan aktif sebagai motor penggerak utama sistem keuangan digital yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. Percepatan digitalisasi sistem pembayaran menjadi salah satu indikator penting dari perubahan tersebut. Sepanjang 2024, jumlah transaksi digital di Indonesia tercatat mencapai 34,5 miliar transaksi, tumbuh 36,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh lonjakan transaksi QRIS sebesar 175,2 persen serta peningkatan transaksi BI-FAST yang mencapai 3,4 miliar transaksi dengan nilai Rp8,9 triliun. Total nilai transaksi digital diproyeksikan mencapai Rp2.908,59 triliun pada 2025 (Huda, dkk., 2025).
Namun, peningkatan transaksi digital belum sepenuhnya dibarengi dengan literasi yang memadai. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2025 mencatat bahwa indeks literasi keuangan nasional baru mencapai 66,46 persen, sementara indeks inklusi keuangan berada pada level 80,51 persen. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa digitalisasi keuangan belum sepenuhnya merata dan inklusif, terutama jika dilihat dari disparitas antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Dalam konteks ini, kehadiran smart citizen menjadi krusial. Masyarakat tidak hanya dituntut menjadi pengguna teknologi, tetapi juga memahami peran kebijakan bank sentral dalam mengendalikan inflasi, mengatur suku bunga, menjaga stabilitas nilai tukar, dan memperkuat sistem pembayaran digital. Literasi kebanksentralan yang memadai menjadi fondasi agar masyarakat mampu mengambil keputusan keuangan yang bijak dan berkontribusi pada tata kelola sistem keuangan yang sehat. Laporan OECD (2024) juga menekankan bahwa digitalisasi tanpa peningkatan literasi berpotensi memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, tulisan ini akan membahas pentingnya kolaborasi antara bank sentral dan smart citizen dalam membangun sistem keuangan nasional yang tangguh dan adaptif di era digital.
Smart Citizen: Pilar Transformasi Ekonomi Digital
Dalam era digital yang terus berkembang, masyarakat tidak hanya berperan sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai aktor kunci dalam mewujudkan sistem ekonomi yang adaptif dan inklusif. Konsep smart citizen merujuk pada individu yang mampu beradaptasi dengan teknologi, memahami sistem keuangan modern, serta mengambil keputusan ekonomi secara cerdas. Peran mereka menjadi semakin penting, terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki potensi demografis dan digital yang besar.
Gambar 1 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia pada 2025 mencapai sekitar 284,4 juta jiwa, dengan lebih dari 70 persen berada di usia produktif (15–64 tahun). Kelompok usia terbanyak adalah 25–29 tahun (22,5 juta jiwa). Provinsi terpadat adalah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, sedangkan di Kawasan Timur, Sulawesi Selatan memimpin dengan 9,56 juta jiwa. Dominasi usia produktif ini merupakan peluang besar bagi transformasi ekonomi digital yang inklusif, namun tetap memerlukan dukungan infrastruktur dan kesiapan masyarakat.Â
Lebih lanjut, data APJII (2024) pada gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat penetrasi internet nasional mencapai 79,5 persen, meningkat dari 64,8 persen pada 2018. Capaian ini menunjukkan bahwa secara umum, infrastruktur digital telah mengalami perbaikan signifikan. Akan tetapi, distribusi akses belum sepenuhnya merata. Pulau Jawa mencatat penetrasi tertinggi sebesar 83,6 persen, sedangkan Sulawesi (68,4 persen) serta Maluku dan Papua (69,9 persen) masih tertinggal. Ketimpangan ini tidak hanya mencerminkan disparitas pembangunan, tetapi juga berkontribusi terhadap kesenjangan dalam literasi dan inklusi keuangan. Oleh karena itu, membangun smart citizen di seluruh wilayah, termasuk daerah dengan akses terbatas, menjadi strategi krusial dalam memastikan bahwa digitalisasi ekonomi benar-benar inklusif dan berkeadilan.
Peluang Indonesia di Tengah Lonjakan Ekonomi Digital
Lonjakan ekonomi digital yang dialami Indonesia dalam beberapa tahun terakhir membuka ruang pertumbuhan baru yang luas dan inklusif. Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia (GMV) mencapai US$82 miliar pada 2023 dan diproyeksikan tumbuh menjadi US$109 miliar pada 2025, bahkan mencapai US$210 miliar pada 2030 (e-Conomy SEA, 2023). Pertumbuhan pesat ini terutama didorong oleh sektor e-commerce dan pembayaran digital, yang masing-masing mencatat GMV US$62 miliar dan GTV US$313 miliar pada 2023. Capaian ini mempertegas bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin transformasi ekonomi digital di kawasan. Dalam konteks ini, kehadiran smart citizen menjadi fondasi penting. Masyarakat yang mampu memahami, memanfaatkan, dan mengawal perkembangan teknologi secara bijak akan menjadi mitra strategis bank sentral dalam mewujudkan sistem keuangan yang stabil, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.