Suatu hari pada saat kelas Academic Writing for Communication Sciences, Mas Dede selaku dosen pengampu menjelaskan tentang bagian-bagian jurnal ilmiah. Topik yang beliau pilih adalah hasil penelitian beliau sendiri yaitu „Penerapan Jurnalisme Otomatisasi dalam laman berita NewsGPT.ai pada Pemberitaan Serangan Hamas ke Israel tanggal 7 Oktober 2023‟. Saya sangat tertarik dengan topik tersebut karena bisa menjawab pertanyaan saya yaitu apakah AI yang mana dikendalikan oleh kecerdasan komputer bisa jernih menyajikan berita tanpa ada bias dan kepentingan kelompok tertentu. Mereka sebagai developer mungkin bisa mengklaim bahwa berita yang mereka sajikan terbebas dari bias karena menggunakan sistem AI. Namun temuan yang ada justru menyatakan yang sebaliknya.
Kembali ke pertanyaan pada esai ini, apakah bisa tugas jurnalistik dan peran jurnalis digantikan oleh Artificial Intelligence? Sebelum masuk ke dalam topik yang lebih jauh, mari kita lihat definisi AI, Jurnalis, dan Jurnalistik itu sendiri agar kita dapat memahaminya secara lebih komprehensif. Menurut Azwar, M.Si dalam bukunya yang berjudul 4 Pilar Jurnalistik, secara sederhana jurnalistik adalah seni berberita. Jurnalistik dapat diartikan sebagai kegiatan menghadirkan berita kepada pembaca, mulai dari kegiatan mencari data di lapangan, memproduksinya menjadi tulisan, hingga menghadirkannya kepada khalayak pembaca. Sedangkan pengertian Jurnalis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jurnalis diartikan sebagai orang yang bekerja mengumpulkan dan menulis pemberitaan baik itu di media massa cetak maupun media massa elektronik. Sekarang kita lihat definisi Artificial Intelligence.
Menurut McLeod dan Schell, AI adalah aktivitas yang memberikan mesin seperti komputer kemampuan untuk menampilkan perilaku yang dianggap setara dengan kemampuan yang ditunjukkan oleh manusia dan merupakan sistem komputer yang dapat melakukan pekerjaan yang memerlukan kecerdasan manusia untuk menyelesaikannya. Pendek kata dari pemahaman saya tentang Jurnalis dan Jurnalistik adalah Jurnalis adalah orang yang bertugas melakukan kegiatan jurnalistik. Tentu saja sebagai suatu profesi, jurnalis dibatasi oleh kode etik yang berlaku. Kode etik merupakan pedoman yang dirumuskan secara praktis. Siregar (1996) mengemukakan bahwa suatu kode etik hanya akan menjadi rumusan tak bermakna jika hakekatnya tidak disadari dalam konteks yang berasal dari luar kode etik itu sendiri. Kode etik tentu saja ada di setiap profesi dan sifatnya mengikat. Dengan adanya kode etik, setiap profesi dituntut untuk menjadi profesional bertindak sesuai dengan pedoman.
Lalu apa kaitannya dengan AI? Sebagaimana yang kita tahu, AI dijalankan oleh suatu sistem komputer dan bergerak sesuai algoritma. Jika dikaitkan dengan kutipan Azwar, M.Si. jurnalistik adalah seni berberita. Penekanan pada kata seni menjadi penting karena sebagai manusia yang berakal dan berkesadaran penuh, kita dapat melakukan berbagai kegiatan sehari-hari maupun kegiatan profesional dengan sentuhan manusia/human touch di dalamnya. Akan terlihat dengan jelas perbedaannya mana hasil pekerjaan manusia dan mana hasil pekerjaan komputer. Sudah pasti ada human error di setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, begitu juga dengan AI yang dijalankan oleh komputer menurut algoritmanya. Jika terdapat bias pada pemberitaan yang disajikan oleh news platform berbasis AI, kita tidak bisa menyalahkan komputernya, kan? Sekali lagi, mereka berjalan sesuai algoritma komputer. Namun profesi jurnalis dan jurnalistik dibatasi oleh kode etik. Mereka harus menghimpun berita secara profesional, terbebas dari bias, dan tidak mengandung agenda terselubung dari kelompok tertentu. Dengan kata lain, netral sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Akhir-akhir ini berita internasional sedang dipenuhi oleh berita genosida yang dilakukan oleh Israel ke Gaza (Palestina) sebagai serangan balasan untuk Hamas tanggal 7 Oktober 2023 lalu. Perhatian dunia tertuju pada konflik ini. Sebagai pengguna media sosial yang cukup aktif, terutama di media sosial X, saya melihat banyak sekali pemberitaan mengenai konflik ini dari beragam news platform seperti Al Jazeera, BBC, dan CNN. Tetapi, banyak sekali bias pemberitaan yang dilakukan khususnya oleh CNN. Penggunaan bahasa menjadi sangat krusial pada pemberitaan konflik antara Israel-Palestina. Seperti pada pemberitaan Hind Rajab, anak perempuan berusia 6 tahun yang diberondong peluru oleh tentara Israel saat ia meminta pertolongan di mobilnya. CNN menggunakan kata-kata “found dead” / ditemukan mati daripada “killed by” / dibunuh oleh. Kecenderungan news platform dengan pemberitaan berat sebelah dipengaruhi juga oleh value yang dianut negara asal news platform tersebut. Sebagaimana CNN berasal dari Amerika Serikat, maka jangan heran apabila pemberitaannya condong ke barat dan terkadang memarjinalisasikan POC (People of Color) Bias bahasa merupakan salah satu yang dapat ditemukan dalam konteks jurnalisme manual. Namun kita masih bisa memberi tekanan kepada para pembuat berita untuk bersikap netral dan apa adanya. Masih ada kemungkinan bagi para jurnalis untuk mengubah pemberitaan mereka yang condong pada satu pihak. Berbeda dengan news platform dengan basis AI. Apa yang mereka sajikan adalah hasil dari sistem algoritma, bergantung pada lebih banyak ke pihak mana mereka mengambil berita.
Selain itu, AI tidak mampu untuk terjun langsung secara fisik ke lapangan dalam hal mencari berita. Ini tentu saja dapat dan perlu dilakukan bagi para jurnalis untuk mengetahui kondisi di lapangan yang sebenarnya. Otomatisasi berita hanya bisa dilakukan dalam sistem algoritma komputer. Apakah bisa kita menyuruh komputer untuk meliput berita perang langsung di tempatnya? Tentu saja tidak. Terdapat hal lain yang tidak dimiliki AI namun dimiliki oleh manusia, yaitu empati dan opini. Empati berkaitan dengan kemampuan manusia untuk memahami apa yang dirasakan oleh orang lain dan melihat suatu masalah dari sudut pandang berbeda. Sedangkan opini adalah pendapat mengenai suatu masalah dari sudut pandang pengamat. Keduanya dapat ditemukan dalam diri manusia, kaitannya dengan jurnalis dan jurnalisme adalah bagaimana proses pengumpulan berita melibatkan empati jurnalis yang kemudian dia bisa menyampaikan opininya sesuai dengan kode etik yang berlaku.
Profesi Jurnalis juga bertanggung jawab kepada suatu lembaga pusat di Indonesia yaitu Dewan Pers Indonesia. Dewan Pers Indonesia adalah sebuah lembaga independen dengan dasar hukum Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalis terikat oleh aturan kerja dan pedoman yang tercantum dalam kode etik. Apabila melanggar sudah pasti ada konsekuensi yang harus dijalankan. Hierarki ini mengikat seluruh anggotanya untuk bertindak profesional. Berbeda dengan AI yang tidak bertanggung jawab pada pihak yang lebih tinggi. Jadi, Artificial Intelligence tidak dapat menggantikan peran jurnalis dalam kegiatan jurnalisme sepenuhnya karena alasan-alasan yang sudah saya sebutkan di atas. Human error tentu saja akan selalu ada dalam proses pengumpulan dan penyebaran berita. Tetapi hal itu masih bisa dikoreksi dan kita dapat memberi masukan kepada para jurnalis. Jurnalisme otomatisasi AI tidak dapat dijadikan sumber utama dalam proses pengumpulan berita. Bagaimana pun terdapat perbedaan signifikan antara kecerdasan buatan manusia dengan kecerdasan alami yang diciptakan oleh Tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI