Mohon tunggu...
Rosita Ayu
Rosita Ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hai semua,

menjadi manusia yang bisa berguna terhadap sesama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Miris, Indonesia Darurat Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

10 Januari 2022   16:38 Diperbarui: 10 Januari 2022   16:56 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Setujukah kalian, bahwa tahun 2021 kita sebut sebagai tahun darurat kekerasan seksual ? ya walaupun sebelumnya sudah banyak kasus entah yang terekspose maupun tidak, hanya saja tahun kemaren  banyak kabar yang mengejutkan bertubi-tubi mulai terdengar dan terungkap, baik secara offline maupun online, dari yang masih bisa bertahan hingga berujung kematian.”

Kekerasan seksual terhadap perempuan kini menjadi sebuah fenomena layaknya gunung es, yang kondisinya berada dalam tingkat yang memprihatinkan. 

Akar dari timbulnya  kekerasan seksual adalah kesetaraan gender, yang mana kokohnya tembok patriarki menjadi penghalang banyak orang untuk melihat bahwa kekerasan seksual  merupakan pelanggaran terhadap HAM. Patriarki menyebabkan kaum laki-laki memiliki privilege atas keputusannya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk perlakuannya terhadap perempuan.

Menjadi korban kekerasan seksual itu tidak mudah. Apalagi ketika asumsi yang melekat adalah bahwa perempuan tersebut bertingkah menggoda dengan memakai pakaian seksi yang seolah-olah layak diperlakukan dengan tidak hormat. Lantas kasus pemerkosaan yang di lakukan oleh guru pesantren terhadap 13 santriwati hingga hamil dan melahirkan 9 anak itu apa ?

Di sisi lain, ketika korban speak up bukannya malah mendapat perhatian justru mendapat hujatan dan tekanan dari pihak manapun. Padahal dengan korban speak up itu harusnya membantu pemerintah dalam merealisasikan negeri yang “Berkemanusiaan yang adil dan beradab”.

Sehingga, apakah masih ada eksistensi perempuan dalam HAM?

Kini sebagian besar masyarakat malah sibuk dengan asumsi-asumsi pribadi dan mengabaikan issu kecacatan hukum yang merupakan inti dari masalah yakni kekerasan seksual yang terjadi di anggap pelanggaran ringan, bahkan pelakunya tidak dipidana. Ini membuktikan bahwa nalar kritis dan kesadaran masyarakat masih sangat minim terkait kekerasan seksual terhadap perempuan, dan ketidak mampuan penegakan hukum terhadap pelaku.

Dari sisi pemerintah, yang katanya persoalan ini menjadi salah satu dari lima isu prioritas yang diarahkan Presiden Joko Widodo Kementrian PPPA, yakni focus pada lima aksi yaitu prioritas pada pencegahan, memperbaiki system pelaporan dan layanan pengaduan, melakukan reformasi pada manajemen pelayanan kasus, melakukan proses penegakan hukum yang memberikan efek jera dan memberikan layanan pendampingan serta rehabilitasi social dan reintegrasi social. Namun pada kenyataan hal tersebut belum terealisasikan dalam menangani persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Tidak kuatnya payung hukum yang mengatur persoalan ini membuat korban sulit mendapat keadilan. RUU TPKS yang sudah bertahun-tahun diadvokasikan tak juga disahkan, ini menandakan pemerintah terlalu abai dan menganggap persoalan ini bagai angin lalu, dan secara tidak langsung membiarkan korban terus berjatuhan dan melindungi serta membiarkan pelaku berkelana merusak eksistensi perempuan dalam HAM.

Oleh karena itu, tak hanya pemerintah yang harus segera mengesahkan RUU TPKS agar menjadi payung hukum yang kuat dalam hal kekerasan seksual, namun penguatan kapasitas juga perlu menjadi perhatian kedepannya. Kita harus dengan tegas memerangi segala bentuk kekerasan seksual dan juga lebih aware terhadap korban agar bisa bangkit dengan trauma.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun