Mohon tunggu...
ROSIDOTUL UMAH
ROSIDOTUL UMAH Mohon Tunggu... Mahasiswa PAI FITK UIN JAKARTA

Saya adalah seseorang yang memiliki kegemaran membaca dan menulis, karna membaca dan menulis itu ibarat kunci gembok sebuah rumah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Telaah kurikulum pendidikan sekolah umum terhadap tujuan pendidikan islam di indonesia

10 Oktober 2025   02:13 Diperbarui: 10 Oktober 2025   02:25 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di Indonesia, Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian peserta didik. Melalui pendidikan, seseorang tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral dan spiritual yang membentuknya menjadi manusia seutuhnya. Di Indonesia, setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, hingga SMA/SMK, memiliki kurikulum yang dirancang oleh pemerintah agar mampu mencapai tujuan pendidikan nasional. Namun, jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, maka menurut saya kurikulum yang saat ini diterapkan di sekolah umum belum sepenuhnya mampu membekali peserta didik untuk mencapai tujuan tersebut.

Tujuan pendidikan Islam sejatinya bukan hanya mencetak peserta didik yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki keseimbangan antara aspek spiritual, moral, dan sosial. Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak boleh dipisahkan dari nilai-nilai keimanan dan akhlak. Rasulullah SAW sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, sehingga pendidikan Islam harus diarahkan untuk membentuk pribadi yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Dengan kata lain, pendidikan Islam berorientasi pada pembinaan manusia seutuhnya, baik jasmani maupun rohani. 

Juga ada beberapa berpendapat yang mengemukakan bahwasanya peserta didik saat ini mengalami kemunduran moral, maka dari itu jika menghadirkan kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan islam itu bisa menjadi jalan keluar untuk mendidik moral.

Sementara itu, kurikulum nasional yang berlaku di sekolah umum (SD, SMP, SMA/SMK) lebih banyak menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan umum seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Sains, dan IPS. Pelajaran agama memang ada, tetapi porsinya sangat terbatas — biasanya hanya dua jam pelajaran dalam seminggu. Akibatnya, nilai-nilai keislaman kurang terintegrasi dalam mata pelajaran lain, sehingga peserta didik hanya memahami ajaran agama secara teoritis tanpa banyak penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Kurikulum yang baik seharusnya tidak hanya mengajarkan aspek kognitif (pengetahuan), tetapi juga afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku). Dalam konteks pendidikan Islam, semua aspek itu seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai keimanan. Misalnya, pelajaran sains bisa dikaitkan dengan kebesaran ciptaan Allah, pelajaran sejarah bisa memperlihatkan keteladanan para tokoh Islam, dan pelajaran bahasa bisa menumbuhkan nilai sopan santun serta etika berkomunikasi. Sayangnya, hal-hal seperti ini masih jarang diterapkan dalam kurikulum sekolah umum.

Menurut saya, di sinilah pentingnya menghadirkan kurikulum keislaman yang mampu mengintegrasikan antara ilmu umum dan ilmu agama. Dalam kurikulum keislaman, peserta didik tidak hanya belajar Al-Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam, tetapi juga belajar bagaimana menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dari pelajaran akidah akhlak, siswa diajarkan tentang kejujuran, tanggung jawab, dan kesopanan; dari pelajaran fiqih mereka belajar kedisiplinan dalam beribadah; dan dari Al-Qur’an Hadis mereka memahami makna ketaatan kepada Allah dan hormat kepada sesama manusia.

Namun, saya juga menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dengan berbagai agama dan keyakinan. Indonesia memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Maka, jika kurikulum keislaman diterapkan secara menyeluruh di sekolah-sekolah umum yang peserta didiknya berasal dari berbagai agama, tentu akan menimbulkan ketidakseimbangan. Kurikulum berbasis Islam memang baik bagi sekolah-sekolah Islam seperti madrasah atau pesantren, tetapi tidak sepenuhnya cocok diterapkan di sekolah umum yang bersifat nasional.

Karena itu, menurut saya, yang paling ideal adalah mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kurikulum nasional tanpa mengubah struktur besar kurikulum yang sudah ada. Misalnya, guru bisa menanamkan nilai-nilai religius, moral, dan etika universal dalam setiap mata pelajaran. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan rasa syukur sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam dan juga diterima oleh semua agama. Dengan pendekatan ini, pendidikan nasional tetap menghormati keberagaman agama di Indonesia, namun pada saat yang sama tetap menanamkan nilai-nilai yang selaras dengan tujuan pendidikan Islam.

Pemerintah juga bisa memperkuat peran pendidikan agama dengan menambah jam pelajaran, mengembangkan metode pembelajaran yang lebih interaktif, serta menanamkan nilai-nilai keislaman melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti pesantren kilat, kajian keislaman, atau kegiatan sosial berbasis nilai-nilai Islam. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter dan akhlak yang baik sesuai ajaran Islam.

Sebagai penutup, saya berpendapat bahwa kurikulum pendidikan di sekolah umum di Indonesia saat ini memang belum sepenuhnya mampu membekali peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Namun, bukan berarti kurikulum nasional harus diganti dengan kurikulum keislaman sepenuhnya. karana pendidikan nasional juga harus menyesuaikan dengan keberagaman bangsa Indonesia. Solusi terbaik adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan Islam ke dalam kurikulum nasional agar pendidikan di Indonesia tidak hanya menghasilkan manusia yang cerdas, tetapi juga beriman, berakhlak mulia, dan memiliki kesadaran spiritual yang tinggi. Dengan cara inilah tujuan pendidikan Islam dapat tercapai tanpa mengabaikan prinsip kebinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun