Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tangisku Pecah di Putaran Pertama Tawaf

21 Desember 2018   21:32 Diperbarui: 21 Desember 2018   22:21 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana keramaian jemaah haji saat tawaf | dokumen pribadi

"Bismillahi Allahu Akbar". Ku lambaikan tangan sejajar lampu hijau arah Hajar Aswad Baitullah, Kabah. Langkah perlahan, seraya lantunkan doa. Tak terasa air mata mengalir begitu deras... Isak lirih iringi lafaz doa.

Jarum jam besar di puncak gedung Tower Zamzam menunjuk angka satu, dini hari. Ku turunkan kaki dari mobil bercat putih. Bersama belasan kawan berjalan dalam rombongan. Semua telah berpakaian ihram sejak dari Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, punya niat sama, Umrah.

Langkah kegembiraan penuh semangat. Kalimat Talbiyah terus terucap nyaris tiada henti. Hatiku berdebar. Bagiku, ini bukan pertama kali berhaji. Namun rasa rindu itu selalu menguat. Rasa rindu mengharap ridha Nya.

Lantai putih marmer. Suasana pelataran luar Masjidil Haram malam itu, tidaklah ramai. Maklum, jemaah haji Indonesia dan sebagian besar banyak negara belum datang. Nampak beberapa gerombol orang Pakistan dan India. Selebihnya penduduk setempat, keluarga bersama anaknya. Duduk, berjalan, shalat, melepas santai.

Bersama rombongan, terus langkahkan susuri pinggiran menuju Pintu Ismail. Aroma harum, aroma khas menyeruak hidung saat masuk Masjidil Haram. Hamparan karpet merah sebagian menutupi lantai. Deretan orang duduk bertafakur, berdzikir. Di ujung jalan nampak deretan drum air Zamzam. 

Ku hentikan langkah sejenak di anak tangga pinggiran bangunan masjid. Memandang kagum tengah pelataran. Benda kubus berbalut kain sutra, hitam bertulis kalimat Allah, itulah Kabah. Setiap kali memandangnya, ada rasa bergolak, rindu, dan pasrah. 

Sekilas kulihat keceriaan anak-anak bermain, balita tertidur di pangkuan ibunya, suami istri bercengkerama santai. Beberapa duduk, memandang bangunan ditengah, baca kitab suci, mengabadikan melalui hp di tangan. Di tengah sana, ratusan orang berjalan mengitari Kabah, tawaf. 

Sejak turun dari mobil, sudah ku kuatkan hati, "jangan menangis". Namun sejak langkah pertama tawaf, hatiku tak sanggup lagi tuk menahan. Betapa kurasakan sesak dada ini. Tangis pun pecah.

Segitu banyak orang sejalan bertawaf, tak terhiraukan. Ku tumpahkan rasanya rinduku pada Mu seraya memohon ampun atas segala dosa kedua orang tuaku. Tergambar sosok ibu, dan mendiang ayahku. Hanya itu yang kuingat.

Sesekali mataku tertuju jam warna hijau di puncak gedung. Tidak lebih dari tiga puluh menit, tujuh putaran selesai sudah. Kaki melangkah bergerak keluar mengambil jarak tempat sejajar Multazam. Shalat sunah dua rakaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun