Mohon tunggu...
Rosa Folia
Rosa Folia Mohon Tunggu... Independent Writer -

Bachelor of Arts in International Relations from Universitas Airlangga; Master of Arts in International Relations from Universitas Gadjah Mada. Politics, social, culture, football (not necessarily in that order). [Twitter: @folia_deux] [E-mail: rosafolia20@gmail.com]

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dunia Setelah Trans-Pacific Partnership Agreement (Bagian I)

24 Desember 2015   19:43 Diperbarui: 24 Desember 2015   20:04 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contohnya seperti ini:

Paten di hampir seluruh negara berlaku hingga 20 tahun sejak tanggal pendaftaran oleh pemegang hak paten. Melalui Perlindungan Kekayaan Intelektual Pasal 18.50 tentang jaminan perlindungan tes rahasia dan eksklusifitas data produk-produk farmasi, TPPA mengusulkan perpanjangan paten selama setidaknya 5 tahun sejak ijin pemasaran obat diterbitkan. Usulan ini muncul dengan alasan sebagai kompensasi waktu yang dibutuhkan perusahaan pemilik hak paten untuk riset dan eksperimen.

Biasanya perusahaan obat generik menggunakan data asli yang dihasilkan pemilik paten untuk membuat alternatif obat yang lebih murah. Tapi, jika usulan eksklusifitas data disetujui, maka perusahaan obat generik harus menunggu hingga waktu paten berakhir atau harus melakukan riset sendiri. Implikasinya harga obat akan meroket. Negara yang seharusnya bertanggungjawab menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakatnya harus tunduk pada aturan ini. Profesor Joseph Stiglitz meyakini dari sudut pandang ekonomi usulan tersebut bertujuan untuk membatasi kompetisi dengan perusahaan obat generik. Ini adalah bentuk monopoli oleh perusahaan-perusahaan obat terkemuka dunia.

Produk-produk bioteknologi pun tak luput dari monopoli. TPPA mengusulkan aturan yang sama mengenai eksklusifitas data, tapi dengan durasi setidaknya 8 tahun sejak ijin pemasaran dikeluarkan otoritas pemberi hak paten. Produk bioteknologi menjadi perbincangan hangat di awal tahun 2015 ketika Pfizer, perusahaan obat terkemuka dari Amerika, mengakuisisi Hospira. Hospira adalah perusahaan obat kecil namun berhasil menarik perhatian Pfizer karena portfolio-nya sebagai produsen biosimilar, alternatif dari produk bioteknologi yang asli.

Penderita kanker adalah salah satu yang menggunakan obat hasil bioteknologi selama perawatan dan diprediksi akan sangat dibutuhkan di masa depan. Prosesnya yang kompleks dan mahal membuat pemilik paten bekerja keras untuk melindungi eksklusifitasnya, termasuk jika perlu dengan mengakuisisi perusahaan produsen biosimilar. Hal ini juga dikarenakan, menurut laporan majalah Fortune, perusahaan-perusahaan bioteknologi terkemuka akan kehilangan hak patennya pada 2020. Salah satu cara untuk meneruskan monopoli adalah dengan membeli perusahaan produsen biosimilar.

KONSEKUENSI


Niat awal kapitalisme adalah agar sektor privat, termasuk individu-individu di dalamnya, bisa bergerak bebas dalam menciptakan inovasi melalui kepemilikan faktor-faktor produksi. Harga produk di pasar pun dibiarkan ditentukan oleh mekanisme pasar. Peran negara pada akhirnya lebih cenderung untuk menjamin kestabilan kondisi politik yang aman untuk investasi serta pengaturan pajak. Tetapi, seperti kata Lord Acton bahwa “power tends to corrupt”. Ketika sektor privat mengeruk keuntungan besar dan berkuasa sehingga mampu melobi pemerintah maka lobi yang dilakukan lebih untuk kepentingan swasta, bukan publik. Ini tentu bukan rahasia. Tidak perlu menjadi ilmuwan untuk memahaminya.

Sistem dunia menurut Wallerstein bersifat sangat struktural. Negara-negara inti sudah terlalu lama menerapkan sistem kapitalis yang menguntungkan mereka. Tanpa mengecilkan peran tenaga kerja di negara-negara semi pinggiran dan pinggiran, tetapi kini tenaga kerja pun harus berilmu dan berketerampilan tinggi untuk memenuhi tuntutan produk yang juga semakin canggih. Hal ini sulit dicapai karena fasilitas pendidikan dan pelatihan kerja yang terjangkau di banyak negara miskin masih dalam kategori terbatas. Penduduk-penduduk di negara semi-pinggiran dan pinggiran dibuai dengan janji ketersediaan lapangan pekerjaan meski dengan mengorbankan hak-hak dasar pekerja seperti kenaikan upah minimum dan hak membentuk serikat pekerja (contohnya di Vietnam). Ini adalah lingkaran setan yang telah berlangsung puluhan tahun.

Apabila prediksi teori K-wave benar, maka sekali lagi negara-negara inti (terutama dari sektor swasta) akan mendominasi perekonomian global sebab kali ini mereka telah memulai pergerakan dalam monopoli bioteknologi dan layanan kesehatan yang menjadi komoditas utama gelombang ke-6. Mereka sudah merancang cetak biru untuk perluasan monopoli hingga ke level paling ekstrem. Hak paten dan perlindungan eksklusifitas data tidak hanya akan berimbas pada penduduk di negara-negara anggota TPPA, tetapi juga masyarakat di negara lain karena pusat research and development paling mutakhir dimiliki perusahaan-perusahaan farmasi besar dunia, sedangkan penyakit tidak kenal batas negara atau status ekonomi. Bayangkan orang-orang penderita malaria, tuberkulosis, HIV/AIDS, dan penyakit lainnya di negara miskin harus dihadapkan pada situasi dimana harga obat-obatan meroket dan tidak ada alternatif obat generik, sedangkan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.

Kepemilikan informasi dan teknologi adalah faktor kunci dalam menentukan posisi kita di dunia saat ini. Mereka pemilik modal-modal tersebut menjadi otak yang mengatur pergerakan bagian-bagian tubuh lainnya. Sedangkan negara-negara yang sudah puas dengan ketersediaan tenaga kerja murah adalah bagian-bagian tubuh tersebut. Negara seperti Indonesia dengan populasi yang besar hanya akan menjadi penyedia tenaga kerja dan berperan sebagai pasar produk-produk tersebut. Maka, selayaknya Presiden Jokowi bertanya pada dirinya sendiri, staf ahli, menteri-menterinya dan rakyat Indonesia ketika menyatakan Indonesia tertarik bergabung dengan TPPA. Dari sisi moral, akankah TPPA mampu membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia? Dari sisi ekonomi, akankah TPPA secara signifikan membantu meningkatkan perekonomian Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun