Dua abad lebih setelah gagasan-gagasan mereka lahir, Adam Smith dan Karl Marx masih berdiri sebagai poros dalam pusaran perdebatan ekonomi global. Meski zaman telah berubah, bayang-bayang pemikiran mereka terus menjalari keputusan-keputusan politik, arah kebijakan pasar, hingga cara manusia memandang keadilan sosial dan pertumbuhan. Di satu sisi, Smith dengan semangat pasar bebasnya menjadi rujukan bagi dunia yang percaya pada kompetisi dan individualisme. Di sisi lain, Marx hadir sebagai suara keras bagi mereka yang merasa terpinggirkan oleh sistem yang terlalu mementingkan akumulasi. Namun dalam dunia yang kini dikuasai oleh korporasi digital, krisis iklim, dan ketimpangan ekstrem, muncul pertanyaan besar: pemikiran siapa yang sebenarnya sedang membentuk dunia saat ini?
Kapitalisme Telah Menang, Tapi Dengan Harga yang Mahal
Dunia hari ini memang tampak seperti panggung kemenangan Adam Smith. Pasar bebas, pertumbuhan ekonomi, dan efisiensi dijadikan mantra dalam setiap kebijakan global. Namun, kemenangan ini tidak datang sebagai hasil persaingan sehat, tetapi sebagai legitimasi bagi ketamakan yang disulap menjadi kebajikan. Dalam dunia yang terobsesi pada angka pertumbuhan, manusia diringkus menjadi "sumber daya"---bukan sebagai makhluk berpikir, tapi sebagai variabel yang harus dikelola. Ironisnya, "invisible hand" yang dulu dianggap penyeimbang, kini justru membentuk oligarki global yang tangannya sangat terlihat---mengatur harga, data, bahkan demokrasi. Kapitalisme tidak lagi tumbuh dari kompetisi, tapi dari dominasi algoritma dan akumulasi kuasa. Dalam konteks ini, warisan Smith sedang dipakai untuk menjustifikasi sistem yang mungkin bahkan dia sendiri tak akan setujui.
Karl Marx Tidak Mati, Ia Sekarat Tapi Sering Dikutip
Jika Marx adalah hantu, maka abad ke-21 adalah rumah berhantu. Ketika kesenjangan ekonomi menembus batas sejarah, dan delusi meritokrasi mulai dipertanyakan, nama Marx kembali muncul bukan sebagai ideolog, tetapi sebagai penjelas kegagalan. Teori nilai lebih yang dulu dianggap produk era industri kini justru menjelaskan bagaimana pekerja digital menyumbang nilai tanpa perlindungan atau kepemilikan. Tidak ada revolusi proletar yang besar---tetapi ada jutaan pekerja lepas yang tak pernah benar-benar bebas. Saat startup bernilai miliaran dibangun dari kerja lembur yang tak dibayar, Marx terasa lebih relevan daripada brosur motivasi korporat. Yang tragis: dunia mengakui diagnosis Marx, tapi menolak resepnya. Ia dikutip, tetapi tidak dipercaya.
Dunia Tidak Butuh Pemenang, Tapi Jalan Tengah yang Jujur
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang menang, tetapi siapa yang mampu menjawab kegagalan zaman ini dengan jujur. Dunia kini dihadapkan pada tantangan yang tak bisa diselesaikan oleh dogma mana pun: krisis iklim, kehancuran ekologi, ketidakpastian pekerjaan, dan kehampaan makna dalam kerja. Mungkin Smith memberi kita alat untuk menciptakan kekayaan, dan Marx memberi kita lensa untuk melihat ketidakadilan. Tapi kekayaan tanpa keadilan adalah penindasan, dan keadilan tanpa produktivitas adalah ilusi. Dunia tak butuh pemenang tunggal---ia butuh keberanian untuk meninggalkan romantisme teori dan membangun ekonomi yang berpihak pada manusia, bukan sistem.
Ekonomi dunia saat ini mencerminkan warisan Adam Smith yang dominan sekaligus kritik Karl Marx yang kian relevan. Tidak ada pemenang mutlak, melainkan kebutuhan mendesak untuk mengharmoniskan pertumbuhan dengan keadilan sosial. Masa depan ekonomi bergantung pada kemampuan kita mengatasi ketimpangan dan membangun sistem yang berkelanjutan serta manusiawi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI