Kamar itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu meja yang redup. Di sudut ruangan berdiri sebuah cermin tinggi, dengan bingkai kayu tua yang sudah retak. Cermin itu telah menemani kehidupan Radit sejak kecil—cermin yang dulu ia gunakan untuk berlatih senyum, mematut diri, bahkan berbohong pada dirinya sendiri.
Malam ini, ia kembali berdiri di depannya. Senyum tersungging di bibirnya, senyum yang sama yang selalu ia suguhkan pada orang lain. Senyum yang manis, meyakinkan, namun terasa hambar bagi dirinya sendiri.
“Lihatlah… semua orang percaya padamu, Radit,” gumamnya lirih. “Mereka bilang kau bijak, penyayang, penuh perhatian. Padahal kau hanya pandai bersandiwara.”
Cermin di hadapannya memantulkan wajah yang tampak gagah, rapi, dan tenang. Namun di balik pantulan itu, Radit merasa seolah cermin sedang menolak menunjukkan dirinya yang sejati—seorang pengecut yang keras hati, yang selalu menolak mengakui kesalahannya.
Ia memejamkan mata, mengingat ucapan ibunya siang tadi.
“Dit, sampai kapan kamu menutup mata? Kamu bilang peduli, tapi kamu bahkan tidak pernah mendengarkan.”
Radit hanya membalas dengan senyum tipis waktu itu. Senyum yang memotong setiap percakapan, senyum yang membungkam kejujuran.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan.
“Mas?” suara itu lirih—milik adiknya, Nisa.
“Ada apa?” Radit menjawab datar.
“Boleh aku masuk sebentar?”