Setiap tahun, momen Idul Adha menjadi waktu yang dinanti umat Islam, tak terkecuali di lingkungan sekolah. Banyak sekolah menyelenggarakan kegiatan penyembelihan hewan qurban, dan sebagian besar dana pembelian hewan tersebut berasal dari urunan siswa. Sekilas, kegiatan ini tampak mulia: melatih siswa untuk berkontribusi, menumbuhkan jiwa sosial, dan membiasakan berderma sejak dini.Â
Namun, benarkah praktik ini murni mendidik, atau justru menyisakan masalah yang perlu dikritisi?
Pertama, perlu kita akui bahwa semangat berkurban adalah ajaran luhur. Qurban bukan sekadar menyembelih hewan, tapi menanamkan nilai ketulusan, keikhlasan, dan pengorbanan. Bila dimaknai sebagai sarana pendidikan karakter, kegiatan ini sangat berpotensi membentuk jiwa sosial peserta didik. Namun sayangnya, pelaksanaannya di banyak sekolah belum sepenuhnya ideal.
Yang menjadi persoalan adalah model urunan yang cenderung memaksa. Banyak siswa merasa tertekan karena harus menyumbang sejumlah uang, bahkan ketika mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Tanpa disadari, kegiatan yang seharusnya mengajarkan keikhlasan malah berubah menjadi beban psikologis. Tak jarang pula, siswa yang tidak ikut menyumbang merasa dikucilkan atau tidak dianggap berpartisipasi dalam kegiatan qurban sekolah.
Padahal, dalam Islam, qurban adalah ibadah yang tidak diwajibkan bagi yang tidak mampu. Maka, seharusnya tidak ada paksaan, bahkan tersirat sekalipun, kepada siswa untuk berpartisipasi secara materi. Jika pun ingin mendidik siswa agar peduli sosial, pendekatannya sebaiknya melalui edukasi, bukan pungutan.
Selain itu, aspek transparansi dan pengelolaan dana juga sering menjadi titik lemah. Apakah benar dana yang terkumpul digunakan seluruhnya untuk membeli hewan qurban? Apakah pelaporannya disampaikan secara terbuka kepada siswa dan orang tua? Jika tidak, maka kegiatan ini berisiko menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pendidikan.
Solusinya? Sekolah perlu mengevaluasi metode penggalangan dana qurban. Kegiatan bisa tetap dilakukan, tetapi dengan pendekatan sukarela yang benar-benar murni. Jika memungkinkan, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan komite atau donatur, agar siswa tidak perlu terbebani. Pendidikan qurban juga bisa dilakukan melalui simulasi, cerita inspiratif, atau aksi sosial yang tidak melulu berbentuk penyembelihan hewan.
Pendidikan karakter tidak harus lewat pengumpulan uang. Nilai qurban bisa diajarkan lewat keikhlasan membantu teman, berbagi bekal, atau berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial. Jangan sampai, atas nama pendidikan karakter, sekolah justru menanamkan budaya permisif terhadap pungutan yang tidak mendidik.
Idul Adha adalah momen refleksi. Maka, sudah waktunya sekolah mengoreksi praktik-praktik qurban agar benar-benar selaras dengan nilai keikhlasan, empati, dan keadilan sosial. ***RA
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI