Mohon tunggu...
Rooy Salamony
Rooy Salamony Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya pelayan masyarakat rooy-salamony.blogg.spot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kartini RTC]Butik

22 April 2015   09:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Sayang....andai nanti kita punya banyak uang, aku ingin mewujudkan mimpi lamaku,”Ari berbisik di telinga Dino, sambil tangannya erat memeluk pinggang laki-laki yang dinikahinya sepuluh tahun silam.

“Mimpi apa?,”tanya Dino sambil menatap lampu lalu lintas. Siaga menunggu lampu hijau menyala.

“Aku pengen punya butik,”suara Ari terdengar bersemangat.

“Butik?,”Dino menurunkan tangan kirinya dari stang dan mengelus tangan Ari yang melingkar di pinggangnya.

“Iya, sayang. Butik.” Ari mendorong wajahnya sedikit lebih dekat ke punggung Dino. Ia ingin melihat ekspresi lelaki yang dicintainya.

Tetapi lampu hijau sudah menyala. Cepat Dino menarik tangan kirinya kembali ke stang sepeda motor. Lalu segera tangan kanannya menarik gas. Motor melaju di antara kumpulan pengendara lain yang berpacu membelah kesunyian ibukota Jakarta.

****

Tiap perempuan memiliki impian di masa remajanya. Impian tentang dirinya. Impian tentang kebahagiaannya. Bukan impian tertinggi. Hanya impian rendahan. Di negeri dimana norma ditentukan oleh masyarakat, dan masyarakat tunduk pada pikiran laki-laki, perempuan tidak memiliki mimpi yang lebih tinggi dari berumah tangga, mengurus suami, mendidik anak-anak, dan menjaga kehormatan keluarga. Jika perempuan itu hidup di Jakarta, bunga mimpinya bertambah satu : membantu suami mencari nafkah.

Mimpi masa remaja seperti memiliki sebuah butik adalah mimpi kelas rendahan yang harus diletakan dibawah mimpi tertinggi. Ari tahu itu. Ia tahu bahwa ijazah sarjana yang ia pegang sepuluh tahun silam hanya memiliki dua arti. Pertama, memberinya kebanggaan saat gelarnya dicantumkan pada kartu undangan pernikahan. Kedua, memberinya bobot tambahan saat wawancara mencari pekerjaan. Ijazah dan pendidikannya juga tidak berhubungan dengan pekerjaannya sebagai tenaga administrasi keuangan di perguruan tinggi swasta yang kini ditekuninya. Mimpi perempuan memiliki tingkatan dalam masyarakat laki-laki. Tingkatan tertinggi adalah mengurus keluarga. Lalu dibawahnya menggantung mimpi masa depan. Terbenam di dasar....mimpi masa remaja.

Freud menulis, mimpi adalah gambaran dari keinginan yang tidak terwujud di dunia nyata. Mimpi itu hanya dua. Mimpi indah dan mimpi buruk. Mimpi indah merupakan hasrat cinta yang terpendam. Mimpi buruk adalah keinginan pada kekerasan. Beruntung, Freud tidak hidup di Jakarta. Di sini, mimpi terbagi atas dua saja. Mimpi perempuan dan mimpi laki-laki. Mimpi perempuan ditata. Mimpi laki-laki bebas merdeka.

“Ari, surat ke lembaga pengabdian masyarakat sudah di kirim?,”suara Bu Lili membuyarkan lamunan.

Ari meraih kertas di atas mejanya dan berdiri. Lalu membalikan badan ke arah atasannya. “Ini baru selesai di cap, Bu.”

“Bisa dikirim pagi ini?”

“Bisa Bu.”

“Saya harap bisa diterima mereka pagi ini. Sebentar lagi semester genap akan selesai. Pekerjaan lembaga saya harap sudah selesai semuanya.”

‘Baik, Bu.”

Ari bertindak sigap. Dibukanya buku agenda. Nomor, perihal, dan alamat yang dituju dicatatnya di sana. Setelahnya ia melipat surat yang akan dikirim ke lembaga pengabdian masyarakat. Biasa Pak Ujang, sang pramubakti, siap membantu. Tetapi pagi ini beliau belum juga tiba. Ari yang harus mengerjakan tugas ini.

Alamat yang dituju terletak dua blok dari tempat Ari bekerja. Tepat di lantai empat ruang paling pojok. Entahlah. Apakah di setiap perguruan tinggi kantor lembaga pengabdian masyarakat harus menempati area yang tereksklusi? Di sini sepertinya demikian.

Ari memompa semangatnya sendiri untuk tiba di gedung C. Keringatnya dihapus dengan sapu tangan sambil tangan kirinya memperhatikan layar tabletnya. Ia tersenyum saat melihat tiap gambar yang bermunculan di laman facebook. Bunga. Kue. Lilin. Balon. Ada juga ucapan kocak teman-temannya. Hidup selalu memiliki cahayanya sendiri. Ari berjalan mendekati lift. Senyum di lebarkan saat petugas keamanan berdiri menyambut di depan liftt.

“Selamat pagi Bu Ari.”

“Selamat pagi Pak,”suara Ari gembira.

“Kelihatannya gembira sekali Bu?”

“Ah....si Bapak. Tau aja...,”Ari tertawa sambil tangannya menekan tombol lift.

“Maaf Bu. Liftnya dalam perbaikan,” sang petugas menundukan kepala.

Sontak kegembiraan Ari melompat turun ke level kehilangan mut. “Waduh....kok rusak?”

“Iya Bu. Sejak kemarin.”

“Hmhhhh.....,” suara tarikan nafas Ari terdengar. Tetapi kakinya tetap melangkah ke arah tangga. “Gila. Lantai empat. Mimpi apa aku hari ini? Bikin senewen aja.”

Ari berjalan menaiki satu demi satu anak tangga. Nafasnya diatur mengiringi langkah kakinya. Ternyata indah juga pemandangan di sekitar gedung C. Pemandangan yang tidak bisa dinikmati jika menggunakan lift untuk mencapai lantai atas. Ada area pertamanan yang terletak beberapa ratus meter dari kampus yang selama ini tidak terlihat Ari.

“Kriiiiinnggg.....” Ari mengangkat tabletnya. “Ada apa Bu?”

“Anak-anak sudah di kelas. Ibu ke pasar sebentar ya?,” suara perempuan paruh baya terdengar di ujung sana.

“Baik Bu. Hati-hati.”

“Iya.”

“Hmhhh....,” kembali Ari menarik nafas panjang. Ia patut bersyukur bahwa ibunya masih mau membantunya merawat putra-putrinya. Setidaknya dalam hal antar jemput. Itu bukan pekerjaan mudah untuk Ari dan Dino.

Tidak terasa, pintu kantor lembaga pengabdian masyarakat terlihat kini. Ari berjalan mendekat. Tetapi segera ia membungkukan badannya. Lunglai. “Turun lapangan ke Samarinda hingga 2 Mei.” Tulisan besar terpampang di pintu kantor. “Buset”.

Ini hari apa? Konyol sekali. Ari melangkah turun dengan berbagai perasaan. Tiba di meja kerjanya ia segera membuka sepatu dan menggantikannya dengan sandal jepit yang selalu disediakan di bawah tempatnya duduk. “Gimana Ari?,”Bu Lili memeriksa pekerjaan bawahannya. “Kantornya tutup, Bu,” Ari menjawab singkat.

****

“Ri, ke Ampera ya? Dekat toko buah segar. Aku tunggu di sana,”bunyi pesan singkat Dino dibaca Ari berulang kali. “Dino apa tidak berpikir bahwa ini tanggal tua? Mencapai jalan ampera menggunakan taksi di sore hari bukanlah perjalanan yang murah. Menggunakan angkutan umum tentu bisa. Tetapi daripada mengambil resiko kecopetan, jauh lebih baik duduk di kursi belakang taksi sambil mendengar detakan jantung mengiringi lajunya argo meski mobil hanya dapat bergerak lamban.

“Sini Pak. Kiri,” Ari meminta supir taksi menepi. Ia mengeluarkan satu lembar limapuluh ribu. Satu-satunya yang ada di dompetnya. Lalu setelah menerima kembalian ia melompat turun menemui Dino di kiri jalan.

“Ayo....,”Dino menarik tangan istrinya.

“Kemana?,” Ari hanya mengikuti.

“Itu,” Ari menunjuk ke toko kecil yang terletak berdampingan dengan toko buah segar. Pintu kaca benderang merupakan konstruksi paling besar pada tampak depan. Selebihnya, hanya kaca blok besar selebar kira kira limapuluh sentimeter di kiri dan kanan pintu. Ari mengikuti Dino melangkah masuk ke dalam toko.

Tidak ada apa-apa di ruang dalam. Meja. Kursi. Perabotan apapun tidak. Kosong. Hanya seorang perempuan seusianya yang berdiri menyambut mereka dan menyalami Ari.

“Ini butikmu,” Dino memandang Ari.

“Ini?,”Ari berputar menyelidiki ruangan empat kali enam meter itu.

“Iya. Tapi aku belum bisa membeli. Ini aku kontrak untuk empat tahun,” Dino tersenyum.

Ari memeluk Dino. Air matanya menetes tanpa peduli perempuan yang berdiri di dekatnya. Bertahun-tahun ia memimpikan memiliki butik. Bertahun-tahun ia tahu bahwa suaminya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bertahun-tahun juga ia tahu bahwa mimpinya hanyalah bagian dari kenangan masa remajanya. Tetapi jika mimpi itu akhirnya dipenuhi Dino, itu lebih dari sekedar pemenuhan mimpi. “Ini hadiah ulang tahunmu, Ri,” Dino berbisik.

https://assets.kompasiana.com/statics/files/14294832871800479625.jpg?t=o&v=300

Nomor 74 Rooy Salamony

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun