ttd
(M.Siregar)
(Mashudi)
Brig.Djen TNI
Sesuai dengan aslinja
Administrator Sidang Umum ke-IV MPRS
ttd
(Wilujo Puspo Judo)
Maj.Djen.TNI
PENDJELASAN
KETETAPAN MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT
SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA
NO.XXV/MPRS/1966
- Paham dan adjaran Komunisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan mendjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan jang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia jang ber-Tuhan dan beragama jang berlandaskan paham gotong-rojong dan musjawarah untuk mufakat.
- Paham dan adjaran Marx jang terkait pada dasar-dasar dan taktik perdjuangan jang diadjarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain mengandung benih-benih dan unsur-unsur jang bertentangan dengan falsafah Pantjasila.
- Paham Komunisme/Marxisme-Leninisme jang dianut oleh PKI dalam kehidupan politik di Indonesia telah terbukti mentjiptakan iklim dan situasi jang membahajakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia jang berfalsafah Pantjasila.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka adalah wadjar bahwa tidak diberikan hak idup bagi Partai Komunis Indonesia dan bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkembangkan dan menjabarkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Ketetapan MPRS No.XXV Tahun 1966 ditetapkan pada bulan Juli ketika Soekarno masih menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Pada bulan Juni 1966, MPRS, di bawah ancaman angkatan darat, telah menerima usulan pimpinan angkatan darat untuk memasukan Supersemar dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. TAP MPRS ini kemudian dijadikan landasan bagi Soeharto untuk menyatakan bahwa secara konstitusional Soekarno tidak lagi memegang jabatan presiden.
Konstitusional?
Dari sisi administrasi pemerintahan TAP MPRS No.XXV/MPRS/1966 mengandung cacat dalam dirinya sendiri. Ketetapan itu dibuat untuk mengesahkan Keputusan Presiden No.1/3/1966 yang berisi perintah membubarkan Partai Komunis Indonesia.
Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 dibuat oleh Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966 yang ditandatangani “atas nama beliau” Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi. Penting untuk dipahami bahwa Surat Keputusan Presiden itu dibuat berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Surat Perintah 11 Maret berisi perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi (1) mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya; (3) supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di atas.
Waktu antara kedua produk hukum itu hanya satu hari. Pertanyaannya adalah : apakah Soeharto memiliki kewenangan untuk itu? Jawabannya: tidak. Jika surat perintah 11 Maret ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan secara luas untuk bertindak, poin (2) dan (3) surat perintah itu memberikan batasan secara jelas.
Lebih jauh, Soeharto telah melakukan penyimpangan administrasi pemerintahan ketika ia menerbitkan sebuah surat keputusan presiden yang membubuhkan namanya hanya karena ia menerima sepucuk surat perintah. Dari analisis administrasi pemerintahan, Surat Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 cacat karena dibuat berdasarkan sebuah surat perintah.
Surat Perintah adalah landasan yuridis pelaksanaan pekerjaan pemerintahan yang bersifat biasa. Semua pejabat yang memiliki kewenangan dapat mengeluarkan surat perintah kepada stafnya dalam pelaksanaan tugas tertentu. Dalam praktek administrasi, surat perintah hanya “setingkat” kedudukannya diatas nota dinas, atau “dua tingkat” di atas perintah lisan.
Sementara Surat Keputusan merupakan produk administrasi yang mengatur hal-hal yang bersifat khusus. Keputusan Presiden sendiriberisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig). Sedikitnya ada tiga macam keputusan presiden. Pertama, keputusan pengangkatan pejabat. Kedua, keputusan pemberian tunjangan. Ketiga, keputusan untuk mengatur hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan ketentuan yang lebih tinggi yang mengatur hal-hal yang bersifat umum.
Bahwa Soeharto telah menetapkan Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 berdasarkan surat perintah 11 Maret, hal itu lebih dikarenakan latar belakangnya sebagai seorang militer dalam menafsir sebuah surat perintah. Bagi militer, surat perintah atasan dapat berarti pemberian kewenangan “untuk berbuat apa saja” dalam keadaan darurat.
Pada bagian selanjutnya terlihat inkonsistensi isi TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam mengutip materi Kepres No.1/3/1966. Pertama, dalam isi ketatapan itu sama sekali tidak disebutkan keterangan Soeharto selaku pihak yang menerbitkan Kepres dalam jabatan “atas nama beliau” presiden Soekarno. Kedua, jabatan pejabat penandatangan Kepres No.1/3/1966 disebutkan secara berurut sebagai Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi. Tetapi jabatan yang disebut dalam Pasal 1 Tap MPRS XXV/MPRS/1966 adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS.
Jelas kini bahwa TAP MPRS XXV/MPRS/1966 adalah kecacatan administrasi pemerintah di masa lampau. Sebagai produk politik, ketetapan ini merupakan simbol politik kekuasaan semata-mata. Meskipun pada saat yang sama MPRS menetapkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang hirarki peraturan perundang-undangan, persoalan hubungan administratif antara Surat Perintah 11 Maret 1966, Kepres No.1/3/1966, dan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 (serta TAP MPRS IX/MPRS/1966) tidak pernah dipersoalkan lebih serius.
Mungkin saja aspek administrasi dipandang tidak terlalu penting dan strategis dalam lingkup perbincangan sejarah politik. Namun hal terpenting dalam praktek pemerintahan adalah apakah mereka yang memerintah memiliki kewenangan yang sah?
Daftar Bacaan :
1.Malaka, Tan, Merdeka 100% Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Marjin Kiri, Tangerang, 2005.
2.Edman, Peter, Komunisme Ala Aidit Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N.Aidit 1950-1965, Terj.Dwi Pratomo Yulianto, Center For Information Analysis, 2005.
3.Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia : Latar Belakang, aksi dan penumpasannya, Jakarta, 1994.
4.Bradley, William L dan Mohtar Lubis, Dokumen-Dokumen tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan Asia, Terj. S.Maimoen, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
5.Munasichin, Zainul, Berebut Kiri Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Yogyakarta, 2005.
6.Lesmana, Surya (Koord)., Saksi dan Pelaku Gestapu Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, Media Presindo, Yogyakarta, 2005.
7.Kahin, Audrey R., Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. Satyagraha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1989.
8.Crouch, Harold, Mliter dan Politik di Indonesia, Terj.Th.Sumartana, Sinar Harapan, Jakarta, 1999.