Mohon tunggu...
Rony K. Pratama
Rony K. Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Sekolah Rujukan Taruna Nusantara

6 Oktober 2016   10:18 Diperbarui: 6 Oktober 2016   10:26 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Buat Mas Muhammad Ibrahim (Om Baim)
di SMA Taruna Nusantara

RELASI pemerintah dan sekolah tak sekadar urusan birokrasi. Sebagai dua komponen yang terintegrasi, keduanya memiliki garis instruksi dan koordinasi dalam pelbagai hal. Pemerintah sebagai subjek memosisikan diri sebagai pengambil kebijakan yang berdampak pada sekolah di tingkat daerah. Sementara sekolah, sebagai objek, menempatkan diri secara strategis dalam merealisasikan kebijakan pemerintah. Baik subjek maupun objek membentuk suatu garis linier yang resiprokal.


Akhir tahun 2015 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan sekolah rujukan yang berimplikasi pada pengembangan kualitas sekolah. Pemerintah menunjuk beberapa sekolah di tiap daerah di Indonesia untuk melakukan peningkatan mutu, karena ia diharapkan menjadi rujukan primer para lulusan siswa terbaik. Kendati demikian, peran pemerintah tak hanya mengucurkan finansial semata, melainkan juga memantau, membimbing, dan mengevaluasi jalannya proses peningkatan kualitas sekolah.


Bagi sekolah yang ditunjuk, tantangan terbesar antara lain menyinergikan kualitas akademik maupun non akademik. Hal tersebut sesuai dengan paradigma pendidikan modern yang mengutamakan keberhasilan kompetensi siswa sehingga unggul dalam kompetisi global. Kompetensi siswa dapat dibuktikan secara numerik di atas kalkulasi angka di buku rapor. Namun, ia masih dalam ruang lingkup kognitif. Karena itu, penyeimbang kompetensi kognitif yang tak boleh diacuhkan di antaranya keaktifan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler.


Pemerintah tak serampangan memilih sekolah yang dipercaya sebagai sekolah rujukan. Ketercapaian sekolah tersebut dalam pengembangan dua komponen akademik maupun non akademik merupakan salah satu faktornya. Dua komponen itu menjadi parameter rujukan bagi calon siswa mendatang untuk mempertimbangkan apakah sekolah yang hendak dipilihnya berkualitas atau tidak. Di lain pihak, desiminasi keunggulan sekolah juga berdampak pada dialog interaktif antara pihak sekolah dengan masyarakat. Oleh karenanya, siswa—atau masyarakat secara luas—dapat memilih dan memilah keunggulan sekolah berdasarkan dua komponen yang ditampilkan.



Ihwal pemilihan sekolah rujukan oleh pemerintah dapat juga berdampak buruk bagi sekolah lain yang “dianggap” tak sesuai standar. Kondisi demikian tanpa sadar mendesak sekolah yang “terpinggirkan” semakin terancam keberadaannya di antara arus persaingan. Dengan kata lain, ada diskriminasi sistematis yang dilakukan pemerintah: mengunggulkan sekolah yang ditunjuk dan mengalienasikan sekolah berkualitas buruk.


Meskipun demikian, kondisi tersebut juga dapat menghela sekolah “yang terpinggirkan” untuk memerbaiki kualitasnya lebih baik. Ini tantangan berat, namun dengan alokasi APBN maupun APBD pendidikan yang sama nominalnya, seharusnya ia mampu mengejar ketertinggalan atau meningkatkan kualitasnya lebih baik. Oleh sebab itu, “komunikasi akademik” antarsekolah maupun dengan pemerintah demi menggapai sekolah rujukan terbuka selebar-lebarnya bagi sekolah di mana pun.

Taruna Nusantara
KEPERCAYAAN pemerintah kepada SMA Taruna Nusantara telah dimulai menjelang tahun 90-an. Ia berdiri atas buah pikiran Jenderal L.B. Moerdani di tahun 1985 di bawah Pendopo Agung Tamansiswa, Yogyakarta. Kepercayaan itu berpuncak pada dipilihnya SMA Taruna Nusantara sebagai sekolah rujukan berbasis tri wawasan kebangsaan, kejuangan, dan kebudayaan. Pertimbangan prestasi ilmiah maupun olahraga di kancah lokal, nasional, dan internasional menjadi parameter pemerintah dalam memutuskan penunjukan itu.


Kebijakan sekolah rujukan tak bisa dipisahkan dengan peran kementerian lain. Sebagai sekolah ala militer, SMA Taruna Nusantara diharapkan menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Bentuk relasi tersebut dapat berupa pembinaan kepribadian yang berwawasan Pancasila. Akan tetapi, pembinaan itu senantiasa merujuk pada tri wawasan yang “disakralkan” SMA Taruna Nusantara sejak lampau.


Sekolah rujukan taruna nusantara dapat menjadi jawaban strategis kegelisahan bangsa dalam konteks bela negara. Ia juga sebagai antitesis terhadap dekadensi generasi muda yang kini mencapai titik puncak. Di tengah pergolakan ketahanan bangsa yang semakin runyam, SMA Taruna Nusantara hadir untuk menawarkan pendidikan terbaik yang bermuara menyiapkan generasi matang dalam berpikir maju, bermoral dalam tindakan, dan loyalitas pada bangsa dan negara. Pencapaian itu tidaklah mudah. Berikut merupakan strategi mewujudkan kualitas siswa hasil sekolah rujukan taruna nusantara melalui tri wawasan.


Pertama, menguatkan loyalitas untuk kepentingan bangsa. Siswa SMA Taruna Nusantara dididik melalui pendekatan interpersonal sehingga tak sekadar lantip dalam pengetahuan, namun juga lembut dalam bersikap pada guru, siswa, maupun pegawai. Sistem asrama yang menjadi ciri khas sekolah membuat proses pendidikan tak hanya berada di ruang kelas, melainkan di tiap sudut sekolah. Hal tersebut senada dengan pemikiran Paulo Freire ihwal pendidikan yang membebaskan peserta didik terhadap lingkungan yang menghimpit. Selain itu, Freire juga berpendapat, bahwa ruang pendidikan sepantasnya berada di mana pun dan kapan pun—tak terikat ruang dan waktu.


Kedua, prinsip kejuangan dalam mempertahankan negara dari intervensi kelompok atau negara lain. Erhard Eppler, akademikus yang menggeluti relasi politik dan militer, mengenalkan prinsip recognizable face untuk memahami pertahanan sebagai wajah suatu negara.* Pada konteks demikian, siswa SMA Taruna Nusantara diarahkan untuk memiliki prinsip kejuangan dalam mempertahankan martabat negara di mata luar negeri. Sejalan dengan azas jus ad bellum, para siswa diharapkan memiliki kepantasan personal untuk menjaga “wajah negara” agar selalu wibawa.


Ketiga, wawasan kebudayaan. Aspek ketiga ini menitikberatkan pada moralitas siswa. Pencapaian moralitas itu dapat ditempuh melalui jalan kesenian. Kehadiran ekstrakurikuler SMA Taruna Nusantara yang berbasis kesenian mampu memperhalus budi siswa menjadi lebih beradab. Dengan demikian, derivasi kesenian yang berwujud aksara bernama sastra mampu membangkitkan kepekaan jiwa dalam berdiplomasi melalui puisi, mengekspresikan karakter lewat teater, tajam literasi melangkaui membaca maupun menulis. Selain itu, kemampuan seni siswa melalui gerak yang gemulai juga dapat diasah dengan seni tari atau koreografi dan kepekaan visual yang dapat dicurahkan via seni menggambar atau melukis.


Tiga aspek di atas setidaknya merupakan variabel mayor dalam mewujudkan iklim sekolah rujukan SMA Taruna Nusantara demi mempersiapkan generasi masa depan yang tangguh secara intelekual dan mental. Walaupun demikian, ia akan berada di ruang gagasan semata bila tak ada sinergi antara pemerintah, guru, maupun siswa. Ketiganya harus saling terintegrasi agar mekanisme perwujudan gagasan berjalan secara kondusif sehingga predikat sekolah rujukan tak sekadar eksistensi semata, melainkan substansi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.[]

* Sebetulnya pandangan Eppler sedikit banyak terinspirasi Max Weber (sosiolog klasik), terutama berkaitan dengan politik identitas dalam dunia militer. Lihat, Erhard Eppler, The Return of the State? (London: The Global Policy Institute, 2009), hal. 65-66.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun