Mohon tunggu...
Imam Sahroni Darmawan
Imam Sahroni Darmawan Mohon Tunggu... Pegiat Desa

Saya peneliti yang bekerja dengan tekun untuk memahami fenomena melalui metode ilmiah. Saya fokus pada analisis data dan kolaborasi, terus belajar dari setiap proses. Dengan integritas, saya menjalankan penelitian secara cermat untuk menghasilkan temuan yang bermanfaat. Saya berupaya memberikan kontribusi sederhana namun bermakna bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Negara Hukum Tanpa Keadilan: Indonesia dalam Bayang-Bayang Aturan yang Menindas

29 Juni 2025   16:35 Diperbarui: 29 Juni 2025   16:35 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Imam Sahroni Darmawan, S.T
(Penulis, pegiat Desa, dan pemerhati politik hukum Indonesia)


“Di negeri ini, hukum bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang punya kuasa, akses, dan uang.”

Ungkapan ini bukan hiperbola. Di tengah jargon negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), Indonesia justru menghadirkan paradoks: hukum melimpah ruah, namun keadilan sulit diraih. Rakyat kebingungan oleh tumpukan aturan yang tumpang tindih, sementara elite politik justru memanfaatkannya untuk mengkonsolidasikan kuasa.

Hukum Menumpuk, Kepastian Menguap

Menurut catatan BPHN (2023), Indonesia memiliki lebih dari 45.000 produk hukum aktif, terdiri dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Perda, hingga regulasi sektoral. Meski angka tersebut tidak dipublikasikan sebagai data resmi final, banyak pakar sepakat bahwa Indonesia mengalami regulatory hypertrophy, yaitu kelebihan aturan tanpa koordinasi yang efektif antar-lembaga dan level pemerintahan.


Laporan Bank Dunia (2023) menyebut bahwa Indonesia mengalami “overregulation with weak enforcement mechanisms,” yang memperbesar ketidakpastian hukum, memperumit dunia usaha, dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang.


Ketika Legislasi Dijadikan Arena Politik Kekuasaan


Masalah hukum di Indonesia tidak hanya terletak pada kuantitas, tetapi juga pada proses lahirnya hukum. Revisi UU KPK (2019), yang memperlemah lembaga antirasuah, disahkan cepat tanpa proses deliberatif dan mengabaikan penolakan publik. Demikian pula Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023, yang membuka jalan bagi kepala daerah berusia di bawah 40 tahun untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden, sebuah langkah yang langsung memuluskan pencalonan putra presiden.

Empat hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion, termasuk Prof. Saldi Isra, yang menyebut putusan ini sebagai bentuk “penyelundupan Norma konstitusi.” Ketua MK saat itu, Anwar Usman, ipar Presiden, kemudian dijatuhi sanksi etik berat dan dicopot dari jabatan ketua oleh Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023. 

Meski demikian, putusan MK itu tetap berlaku karena bersifat final dan mengikat.

Ini adalah contoh telanjang dari judicial capture, ketika lembaga yudisial tidak lagi independen, tetapi menjadi perpanjangan kekuasaan.

Warga Kecil dan Jerat Pasal Karet

Ilustrasi dampak hukum tidak adil dapat ditemukan dalam kasus warga Desa Wadas, Purworejo (2022–2023). Puluhan warga ditangkap secara represif karena menolak tambang batu andesit untuk proyek bendungan Bener. Mereka hanya mempertahankan tanah dan ruang hidupnya, namun negara merespons dengan pasal-pasal pidana dan tindakan represif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun