Mohon tunggu...
Ronald Anthony
Ronald Anthony Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Hanya seorang pembelajar yang masih terus belajar. Masih aktif berbagi cerita dan inspirasi kepada sahabat dan para mahasiswa. Serta saat ini masih aktif berceloteh ria di podcast Talk With Ronald Anthony on spotify.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saturday Morning #41 - "Terlanjur Kaya"

13 Maret 2021   09:00 Diperbarui: 13 Maret 2021   09:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan edisi ke 41 ini perlu saya disclaimer dari awal, buka untuk meggurui ataupun anti, tetapi hanya menuliskan dari sudut pandang saya saja. Sehingga, mudah-mudahan tetap obyektif dan berimbang dalam menulis judul ini. Yaps kalau dari judul harusnya anda sudah bisa menebak. Hari ini saya ingin sekali menuliskan soal ini karena dalam minggu ini saya bertemu dengan orang orang yang suka mengeluh soal nasibnya.

Cerita ini bermula dari pertemuan saya dengan salah satu petinggi kampus di Kota ini, cerita-cerita mulai dari pekerjaan, kehidupan mahasiswa, materi ajar, sampai yang teranyar cerita soal dua anaknya yang kebelet ingin menikah. Yang kedua sudah lebih jauh  melangkah sudah lamaran dan tinggal menunggu hari untuk melangkah ke jenjang tersebut. Sedangkan anaknya yang pertama yang masih menjadi perhatiannya, Sia anak pertama ini katanya selalu mengatakan pingin menikah, tetapi merasa baik ia maupun pasangannya belum siap, yang paling jelas adalah belum siap finansial. 

Selalu merasa kurang, sampai salah satu petinggi kampus ini pun gusar hingga mengatakan "Apa bah yang ditunggu, kalau memang niatnya ibadah, pasti akan dilancarkan, jadi jangan berpikir oh saya harus punya segini baru boleh nikah, oh punya rumah, punya mobil, dan sebagainya baru boleh menikah". Intinya Kelamaan, karena kalau menunggu siap, setiap pun pasti tak siap, namun kalau sudah diniatkan biasanya ada jalan.

Selesai lah cerita hari itu, dengan banyak versi cerita yang mengantung di otak saya, apa iya mau menikah harus punya sekian-sekian. Nah pelan-pelan cerita ini mulai terjawab. Pagi tadi saya barusan melihat story dari salah satu adik kelas saya di SMA, bulan april ini hendak menikah ceritanya, bahkan resepsi kabarnya akan diselenggarakan di dua kota di Jakarta dan di Pontianak. Untuk di Pontianak saya belum dapat bocorannya, tapi kalau di Jakarta kabarnya akan diselenggarakan di salah satu hotel mewah di bilangan Jakarta Pusat. Agak spektakuler dan menakjubkan memang.

Saya kemudian menelisik dan melihat lebih jauh, rasanya hidup anak ini seringnya nongkrong-nongkrong, kalaupun buka usaha satu dua buah kemudian dia tinggalkan pergi main dengan teman-temannya.  Bahkan beberapa bulan lalu dia tertangkap polisi karena kebut-kebutan dengan mobil mevvahnya di salah satu jalan protokoler. Usut punya usut adik kelas saya ini memang orang yang terlanjur kaya, yang memang dari lahir sudah hidup dengan segala kelimpahan. Maka jawaban ini menjadi tak heran, kalau ia bisa saja menyelenggarakan resepsi di dua kota, bahkan tiga, empat, lima kota pun mungkin bisa.

Cerita-cerita ini yang kadang kala, mungkin bukan buat saya saja, berpikir dan mungkin akan merasa insecure, jika memnbandingkan dengan kedua cerita diatas rasa-rasanya saya semakin yakin  ukuran orang-orang mungkin berbeda. Si anak salah satu petinggi kampus tersebut mungkin saja menggunakan kekayaan orang tuanya, tapi mungkin ia lebih pede kalau ia bisa bergerak sendiri dengan calon suami  untuk mengumpulkan pundi-pundi. Sedangkan di sisi yang lain ada yang mempertahankan itu, merasa biasa dan enjoy saja menyelenggarakan pernikahan dengan biaya orang tua.

Pasti di sebagian anda, mungkin berpikir sirik amat sih? Wkwkwk. Sekali lagi saya tidak ingin tulisan ini menjadi subjektif dalam menilai. Lagipula ini timbul karena kegelisahan saya, kadangkala tentu kita kasihan dengan orang yang berjuang dari nol untuk meniti setiap anak tangga menuju pintu kekayaan. Namun, di sisi lain kita juga harus menyadari ada orang dengan karpet merah yang dengan mudahnya berlenggak-lenggok di atas karpet yang sudah dibentangkan oleh orang tuanya maupun leluhurnya. Meskipun demikian, pada dasarnya tak ada yang salah dan itu fair - fair saja, toh memang itu pilihan mereka, tentu kita tak dapat memaksa semua menurut ideal kita.

Sejujurnya saya ingin menunjukkan kepada anda, bahwa pada dasarnya orang sering bermain-main dengan pikiran dan ketakutan sendiri. Kisah soal terlanjur kaya ini misalnya membuat saya teringat dengan tulisan saya di beberapa edisi saturday morning sebelumnya soal "Privilege". Agaknya cerita-cerita ini hampir mirip, orang yang memiliki privilege karena dengan privilege barang  tentu akan lebih mudah untuk mendapatkan sesuatu ketimbang mesti meniti dengan susah payah. Walaupun mungkin disebagian orang itu dianggap tak adil, tapi kan ya itulah namanya hidup. Masing-Masing orang tentu punya jalannya sendiri.

Nah karena cerita soal banding membanding ini saya teringat salah satu film kartun karya walt disney "The Ugly Ducking" yang bercerita soal si itk yang buruk rupa, agak-agaknya meskipun ditonton pada masa kecil dulu, rasa-rasanya kisah ini punya pesan yang masih relevan dengan sekarang.. Di awal kisah film ini sendiri bercerita soal sebutir telur angsa yang nyasar ke kandang itik dan dierami dengan beberapa telur itik oleh Induk itik.  Setelah beberapa lama telur angsa ini pun menetas dengan telur itik lainnya.

Waktu semakin berlalu, dan mereka telah sama-sama bertumbuh besar, dan masalahpun mulai muncul saat siangsa merasa minder karena bentuk tubuhnya yang memiluki perbedaan dengan saudara-ssaudaranya yang sesama itik. Si Angsa ini pun tak luput dari ejekan serta tumbuh dengan tekanan karena memiliki tubuh yang berbeda dengan itik-itik yang lain. Dalam kebimbangan serta rasa putus asanya, si angsa itu berkata "aku si itik yang buruk rupa".

Namun, semua itu berbah kala si angsa bertemu dengan sekelompok angsa. Dari situlah ia mulai menyadari bahwa ia bukanlah itik, melainkan angsa putih yang cantik. Coba lihat, hanya karena tidak menyadari jati diri dan potensi hebaranya sebagai angsa yang cantik, ia berpikir bahwa selama ini ia adalah itik yang buruk rupa, maka ia pun awalnya tak bahagia. Walaupun demikian, kisah di film ini mau menunjukkan bahwa cara kita menilai diri kita sangat berpengaruh pada apa yang kita lakukan dan tampilkan di kuar. Ketika melihat sekelilingnya kita atau ketika kita mengadah ke atas pasti banyak yang lebih dari kita baik dari sisi materi dan sebagainya. Seringkali, hal itu membuat kita menjadi minder, karena kita berpikir bahwa diri kita nggak sama dengan mereka.

Dan pada akhirnya selalu timbul, pikiran-pikiran kenapa kita nggak punya nasib atau kondisi sebagus mereka. Akibatnya kita selalu hidup dengan membanding-bandingkan dengan orang lain. Jadi, untuk menutup tulisan ini adalah jangan berusaha membandingkan nasib kita dengan orang lain karena sekali lagi kita tak tahu dalamnya orang seperti apa, bisa jadi di depannya bagus, kaya dan sebagainya. Namun, di dalamnya mana kita tahu menyimpan kebusuka-kebusukan. So, Tetap Bersemangat!

*)Ronald Anthony

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun