Mohon tunggu...
Ronaldus AdipatiKunjung
Ronaldus AdipatiKunjung Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Orang biasa yang tertarik pada dunia tulis menulis dan suka menulis yang tidak penting

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wada*

25 Mei 2022   08:06 Diperbarui: 25 Mei 2022   08:16 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika pernikahan hanya menakdirkan kita untuk berpisah, lalu untuk apa kita menikah? 

Adakah kesedihan yang lebih mendalam selain kesedihan seorang istri yang ditinggal mati suaminya?

***

Namaku Felitia. Aku menulis kisah ini sebagai pengingat bagi kita bahwa nasib terkadang sulit untuk diramal. Kehendak Tuhan selalu jadi tuan bagi hidup kita - juga bagi pernikahan yang kita lakonkan.

Malam telah larut. Aku masih duduk mengakrabi Samsung Galaxy J1-ku. Sengaja tadi ku beli kuota paket data 1 Gb dengan harapan aku bisa online semalaman sambil membaca pesan masuk atau sekedar menyukai status sahabat dunia maya yang kebanyakan alay.

Sesekali aku melirik kronologi facebook-ku berharap ada sesuatu yang berharga dari sana. Memutar bahasa Buku Suci: mungkinkah sesuatu yang baik dari kronologi? Entahlah, tapi aku menunggu sesuatu dari sana.
Sementara itu, si kecil juga sudah pulas terbuai mimpi malam. Ia yang kini berusia empat tahun lebih, mulai bisa diajak kompromi terutama ketika pasokan susu kaleng habis lalu diganti dengan air tajin atau air rebusan beras. Ia tahu bahwa ibunya tak mampu untuk selalu menyuplai susu untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Akh, anak pintar.

Sejak dilahirkan, ia belum sekalipun melihat sosok ayahnya. Hanya dari foto-foto pernikahan kami, ia jadi tahu rupa ayahnya dan ia jadi tahu bahwa kata orang wajahnya menyerupai wajah ayahnya kecuali rambutnya yang meniru persis rambutku, hitam bergelombang.

Hujan yang tercurah di luar menambah galaunya diriku di penghujung September ini. November Rain, begitulah yang selalu orang katakan tentang bulan ini. Aku memandangi jam analog laptopku, pukul 23.42 Wita. Aku kemudian mendesah pelan. Ada perasaan tak terkata ketika seujung kuku lagi hari ini berakhir, belum juga dia mengucap selamat atas ulang tahun pernikahan kami.

Happy Weeding Aniversary, deretan kata-kata ini biasanya tak pernah absen di kronologi facebook-ku setiap tahun tepatnya pada bulan ini, 21 September. Mungkin aku harus menunggu. Masih ada delapan belas menit lagi malam mau menutup hari. Mungkinkah dia sibuk atau sudah lupa? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin lupa. Aku melihat kronologi facebook-ku. Lima tahun berturut-turut di bulan ini, di tanggal ini, dia tidak pernah lupa mengirim status di kronologiku. Kata-kata juga bahasanya akrab di benakku.

10 September 2010. Saya masih ingat jelas waktu itu. Dalam balutan busana khas pengantin kami berdua menukar sumpah di depan Altar sakral. Secara bergantian kami menjawab: Ya, saya bersedia untuk sebuah pertanyaan dogmatis yang telah terwaris. Semenjak itu, kami berdua jadi sah dalam hukum dan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun