Mohon tunggu...
Ronald Sianipar
Ronald Sianipar Mohon Tunggu... Lainnya - -

Alumni Ilmu Ekonomi FEUI lulus tahun 2009, saat ini bekerja sebagai PNS di Kementerian PUPR pada Direktorat Jenderal Bina Konstruksi dan sebelumnya pernah bekerja pada Kedeputian Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Analis Ekonomi Regional.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pergeseran Paradigma Energi dan Manufaktur di Indonesia dalam 25 Tahun ke Depan

6 Juni 2022   15:36 Diperbarui: 6 Juni 2022   17:09 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kelangkaan (scarcity) suatu energi menyebabkan banyak kegiatan ekonomi terdampak. Salah satunya adalah harga. Semakin tingginya harga energi berbasis fosil dari tahun ke tahun mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari alternatif, semata-mata untuk mempertahankan roda perekonomian. Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi prioritas utama sebagai langkah konkrit dalam mengatasi kelangkaan itu.

Dalam proses pengembangan dan pembangunan EBT, tidak cukup hanya dengan mendapat sumber energinya saja. Akan tetapi pembangunan infrastrukturnya juga merupakan hal yang "sepaket", mulai dari sumber energi, transmisi, hingga energi itu dapat dimanfaatkan dengan nyata oleh masyarakat. Begitupun halnya dengan manufaktur, salah satu kunci investasi manufaktur adalah energi air dan energi listrik. Jadi antara manufaktur dan energi saling memajukan satu sama lain.

Dalam jangka waktu menengah, target pemerintah Indonesia pada tahun 2025 dalam bauran energi sebesar 23%. Sementara besar investasi untuk mewujudkan target itu sebesar 513 Triliun Rupiah dengan asumsi pertubuhan ekonomi 5,5%- 6,5%. Sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2025, Investasi tersebut diutamakan untuk mengganti sumber energi berbasis fosil, yaitu minyak bumi dan batubara menjadi energi dari panas bumi, air, surya (sinar matahari), bayu (angin), sampah, bio-energi, dan lain-lain.

Target pemerintah tersebut sesuai dengan kondisi tahun 2019 dimana kondisi global dapat dikatakan relatif stabil. Kalau berkaca pada tahun 2020, kondisi atau target ini sangat mustahil terwujud. Hal ini disebabkan Indonesia mengalami dua gejolak besar dan tidak masuk dalam asumsi-asumsi perencanaan sebelumnya. Dua gejolak besar tersebut adalah Pandemi Covid-19 dan Perang Rusia-Ukraina.

Menurut catatan International Energy Agency (IEA), perekonomian dunia mengalami perlambatan akibat Pandemi Covid-19 dan akan menunda pemulihan pergeseran bauran eenergi hingga tahun 2025. Permintaan energi dunia turun sebesar 5% pada tahun 2020, sehingga investasi untuk energi mengalami koreksi sebesar 18%.

Setelah pandemi Covid-19, dunia sepakat dan optimis melihat kondisi penggunaan energi berangsur-angsur akan pulih, apalagi dengan manajemen penanganan Pemerintah Indonesia terhadap berbagai varian Covid-19. Namun keadaan tersebut kembali diguncangkan dengan perang Rusia-Ukraina yang belum diketahui sampai kapan akan berakhir. Malah permasalahan tidak hanya Rusia dan Ukraina, akan tetapi berimbas terhadap beberapa negara dalam berbagai bidang.

Sampai tahun 2021, hubungan Rusia dan Ukraina dengan Indonesia sangat erat pada bidang pangan dan energi. Berdasarkan data dari UN Comtrade, Ukraina memasok sekitar 23,51 persen gandum Indonesia. Sementara Rusia memasok sekitar 15,75 persen pupuk Indonesia (data tahun 2020). Hubungan timbal balik dapat dilihat bahwa Indonesia melakukan ekspor minyak nabati ke Negara Rusia sekitar 5 persen.

Permasalahan utama konflik Rusia-Ukraina sampai saat ini adalah terganggunya rantai pasok dan harga minyak, pasokan pangan (gandum), dan pasokan pupuk di Indonesia. Semakin lama Indonesia tidak beralih mencari alternatif maka semakin lama juga dampak yang akan dirasakan.

Konflik antara Negara Rusia-Ukraina berdampak pada tren harga minyak dunia semakin meningkat. Permasalahan pertama adalah harga minyak mentah melonjak menuju USD100 per barel. Hal ini berpengaruh terhadap harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP). ICP yang sejak April 2020 berada pada USD20/barel, kini meningkat lebih dari 4 kali lipat hingga mencapai USD98/barel per Februari 2022 (KESDM, 2022).

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana pengaruhnya di Indonesia. Permasalahan di Indonesia muncul pada penyusunan APBN tahun 2022. Dimana asumsi harga minyak yang digunakan adalah sebesar USD63/barel. Dengan demikian, kenaikan ini berpotensi membuat harga-harga lainnya akan terdorong tidak stabil. Saat ini harga minyak mentah dalam keseimbangan USD 100/barel. Artinya subsidi miinyak di Indonesia akan semakin terbatas, dan sewaktu-waktu akan dikembalikan ke harga pasar. Kalau saat ini Pertalite hanya Rp7.650, mengingat kondisi APBN, bisa subsidi dilepas mengikuti harga global, yakni Rp 12.000-15.000.

Dalam jangka menengah saja, Indonesia sudah diterpa banyak masalah karena ketergantungan energi dengan negara lain. Dapat dikatakan ini merupakan ancaman. Ancaman pertama yang menjadi fakta terlihat jelas adalah kenaikan harga minyak global. Potensi ancaman perang dunia ketiga masih sangat mungkin terjadi melihat konflik kedua negara masih berlangsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun