---
2. Dari Abraham Accords ke Gaza Blueprint
Trump bukan sosok baru dalam isu Timur Tengah. Pada masa jabatan pertamanya (2017--2021), ia berhasil menandatangani Abraham Accords---perjanjian normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab seperti UEA, Bahrain, dan Maroko.
Namun, perjanjian itu gagal mengakhiri penderitaan warga Palestina. Ketika perang Gaza pecah pada 2024, banyak pihak menilai Abraham Accords hanyalah normalisasi ekonomi yang menyingkirkan isu Palestina dari meja diplomasi.
Kini, Trump mencoba memperbaikinya dengan "Gaza Blueprint," yaitu konsep yang menempatkan Gaza sebagai wilayah otonomi sementara di bawah pengawasan Mesir, dengan dukungan keamanan dari koalisi Arab dan pendanaan pembangunan dari AS.
Di atas kertas, ide ini terdengar menjanjikan: membuka lapangan kerja, menumbuhkan stabilitas, dan menekan ekstremisme. Namun, kritik datang dari berbagai pihak, termasuk The Guardian, yang menilai pendekatan ini "terlalu transaksional" dan mengabaikan hak politik warga Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.
---
3. Luka Lama yang Belum Sembuh
Konflik Israel--Palestina telah berlangsung lebih dari tujuh dekade, dan setiap upaya perdamaian sering kandas di tembok ketidakpercayaan. Hamas masih menolak mengakui keberadaan negara Israel, sementara Israel tetap menolak pengakuan atas Palestina sebagai negara merdeka dengan batas wilayah 1967.
Laporan Human Rights Watch (Oktober 2025) menunjukkan bahwa selama perang Gaza 2024--2025, lebih dari 36.000 warga sipil tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Di pihak Israel, sekitar 1.200 orang juga kehilangan nyawa akibat serangan roket Hamas.
Dengan luka sedalam itu, KTT Mesir bukan sekadar forum diplomatik, tetapi ujian moral bagi semua pihak---apakah mereka benar-benar menginginkan perdamaian, atau sekadar mengelola konflik untuk kepentingan politik masing-masing.