Menurut data OECD (2023), lebih dari 40% penduduk di negara berkembang masih tergolong unbanked --- tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023 melaporkan indeks inklusi keuangan sudah mencapai 85%, tetapi literasi keuangannya baru sekitar 50%. Ini berarti separuh masyarakat yang punya akses keuangan belum tahu bagaimana mengelola atau memutarkan uangnya secara produktif.
Jadi, ketika artikel motivatif berkata "orang kaya mempekerjakan uangnya", realitasnya banyak orang bahkan belum memiliki "uang untuk dipekerjakan." Perbedaan bukan hanya pada mentalitas, tapi juga pada struktur sosial dan kesempatan ekonomi.
Struktur Sosial dan "The Matthew Effect"
Sosiolog Robert K. Merton menyebut fenomena ini sebagai The Matthew Effect --- mereka yang sudah punya modal, akses, dan jaringan akan lebih mudah memperbanyak kekayaannya. Sebaliknya, mereka yang tidak punya modal awal, meski bekerja keras dan berpikir cerdas, tetap menghadapi tembok struktural yang tinggi.
Ekonom Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014) menguatkan hal ini melalui data empiris:
"Rata-rata tingkat pengembalian modal (r) selalu lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi (g)."
Artinya, kekayaan yang sudah ada akan tumbuh lebih cepat daripada pendapatan kerja. Akibatnya, jurang kaya dan miskin melebar --- bukan hanya karena perbedaan perilaku, tapi karena mekanisme ekonomi yang secara sistemik menguntungkan pemilik modal.
Uang Sebagai Sistem, Bukan Sekadar Alat
Tulisan populer sering mengajarkan bahwa uang harus "diatur" agar tidak habis. Tapi para ekonom melihat uang sebagai bagian dari sistem, bukan sekadar alat pribadi. Uang berputar melalui mekanisme fiskal, moneter, dan pasar. Artinya, literasi individu tanpa dukungan kebijakan publik hanya akan menciptakan "pulau-pulau finansial" kecil di tengah ketimpangan besar.
Laporan Brookings Institution (2024) menegaskan bahwa peningkatan literasi keuangan harus dibarengi kebijakan inklusi, seperti:
*Akses perbankan mikro berbasis digital untuk masyarakat kecil.
*Penurunan biaya transaksi pasar modal.
*Penguatan proteksi terhadap investor ritel agar tidak menjadi korban instrumen berisiko tinggi.
Tanpa kebijakan tersebut, perbedaan antara "orang kaya menanam" dan "orang miskin menghabiskan" hanya akan menjadi slogan motivasi yang menutupi masalah struktural.
Mengapa Menabung Tidak Selalu Menyelamatkan