Menkeu Baru dan Mantra "Growth": Saatnya Meluruskan Logika Ekonomi yang Terlalu Sederhana.
Pendahuluan: "Growth" Bukan Segalanya
Belum lama menjabat, Menteri Keuangan baru, Pubaya Yudhi Sadewa, langsung mencuri perhatian publik dengan pernyataan-pernyataannya yang terkesan tegas namun menyederhanakan persoalan. Ia menyebut bahwa jika pertumbuhan ekonomi (growth) berhasil didorong lebih tinggi, maka gejolak sosial seperti demonstrasi akan mereda dengan sendirinya---karena rakyat akan sibuk bekerja dan hidup lebih layak.
Pernyataan ini menuai pro-kontra. Di satu sisi, wajar seorang Menkeu menekankan pentingnya pertumbuhan. Namun di sisi lain, pernyataan tersebut tampak terlalu optimistis, bahkan simplistis. Realitas ekonomi Indonesia jauh lebih kompleks dari sekadar soal "naikkan growth, maka semua masalah selesai".
Ada beberapa catatan penting yang perlu dibahas untuk meluruskan logika tersebut: soal Phillips Curve, makna growth yang lebih luas, peran faktor global, hingga solusi alternatif yang lebih komprehensif.
1. Phillips Curve Butuh Pembaruan
Sadewa tampaknya masih menggunakan logika klasik Phillips Curve: inflasi dan pengangguran berbanding terbalik. Dengan kata lain, jika ekonomi tumbuh dan lapangan kerja meningkat, maka inflasi bisa dijaga, dan sebaliknya.
Logika ini memang populer di era 1950--1970. Namun sejak fenomena stagflasi tahun 1970-an, teori ini mulai runtuh. Saat itu, ekonomi Amerika Serikat mengalami inflasi tinggi sekaligus pengangguran tinggi---sesuatu yang bertentangan dengan prediksi Phillips Curve.
Ekonom seperti Milton Friedman dan Edmund Phelps lalu mengoreksi bahwa ada faktor ekspektasi yang memengaruhi inflasi dan pengangguran. Artinya, hubungan itu tidak otomatis berlaku. Ditambah lagi, faktor struktural seperti rigiditas pasar tenaga kerja, ketergantungan impor, dan ketidakmerataan distribusi pendapatan membuat teori klasik semakin terbatas.
Dengan kata lain, jika Menkeu hanya mengandalkan logika Phillips Curve, maka analisisnya akan usang. Konteks ekonomi modern menuntut pendekatan yang lebih kaya---termasuk ekspektasi publik, perilaku investor, hingga dinamika global.
Catatan penting: Teori klasik Phillips Curve tidak cukup menjelaskan konteks ekonomi Indonesia hari ini.