Apakah Rakyat juga Bersalah dalam Budaya Korupsi?
Kritik terhadap Pandangan Kang Dedi Mulyadi
Pendahuluan
Korupsi telah lama menjadi luka terbuka bangsa Indonesia. Dari masa Orde Baru hingga reformasi, praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) terus menggerogoti fondasi kehidupan berbangsa. Tidak heran jika masyarakat hampir selalu menuding pejabat publik sebagai biang kerok persoalan. Setiap kali terjadi kasus korupsi besar, publik segera bereaksi dengan tuntutan keras: "Tangkap dan gantikan pejabat yang tidak bersih!"
Namun dalam sebuah forum pemberantasan korupsi, Kang Dedi Mulyadi (KDM)---politisi yang dikenal nyentrik, kritis, sekaligus dekat dengan rakyat---menyampaikan pandangan yang cukup mengejutkan. Menurutnya, pejabat memang harus bersih, tetapi persoalan tidak akan selesai jika rakyatnya tidak ikut berubah. KDM mencontohkan, ada kontraktor yang kalah tender lalu melapor ke KPK, tetapi kalau menang tender, diam saja. Ada juga LSM atau ormas yang datang kepada bupati/kepala desa untuk meminta uang, dan jika tidak diberi, mereka mencari-cari kesalahan.
Seolah KDM ingin mengatakan: pejabat memang salah, tetapi rakyat pun tidak sepenuhnya benar.
Pernyataan ini memicu perdebatan. Apakah benar rakyat ikut bertanggung jawab atas maraknya korupsi? Ataukah pandangan ini justru berpotensi menyalahkan korban (victim blaming)?
Antitesis ala KDM: Menyalahkan Rakyat?
Jika ditarik ke ranah filsafat politik, apa yang dilakukan KDM bisa disebut sebagai antitesis.
*Tesis umum: pejabat publik adalah sumber utama korupsi.
*Antitesis KDM: rakyat juga ikut andil, bahkan sering menjadi pemicu kompromi pejabat.
Namun, pandangan ini berhenti pada tahap antitesis. Ia belum menawarkan sintesis berupa jalan keluar komprehensif yang menjelaskan bagaimana memperbaiki pejabat sekaligus rakyat.
Dalam logika KDM, praktik-praktik rakyat yang "nakal" mendorong pejabat tergelincir ke dalam korupsi. Tetapi masalahnya, relasi kuasa antara pejabat dan rakyat tidaklah simetris. Pejabat memiliki akses pada anggaran, regulasi, dan wewenang, sementara rakyat hanya berperan sebagai pihak yang bergantung atau bahkan sebagai "pencari kesempatan".