PLTS Atap: Kebijakan Setengah Hati
Oleh: Ronald Sumual Pasir
Di negeri yang katanya kaya akan sinar matahari sepanjang tahun, kebijakan energi terbarukan justru berjalan seperti matahari di musim hujan: suram, tertutup awan ketidaktegasan. PLTS atap---yang semestinya menjadi ikon transisi energi dan kebanggaan warga---justru menjadi korban dari kebijakan setengah hati. Pemerintah tampak bingung: antara ingin mendorong penggunaan energi terbarukan, tapi masih bergantung penuh pada warisan energi fosil yang menguras devisa dan merusak lingkungan.
Pemerintah Indonesia seolah memegang dua wajah dalam menyikapi energi surya. Di satu sisi, mereka ingin mengurangi ketergantungan terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang rakus bahan bakar dan menyedot anggaran subsidi migas setiap tahun. Tapi di sisi lain, mereka justru mencabut fasilitas ekspor-impor listrik dari PLTS atap, menghapus meteran ekspor-impor, dan mengeluarkan sinyal kuat bahwa kelebihan listrik dari rumah tangga tidak akan dibeli lagi oleh PLN. Lalu apa yang sebenarnya pemerintah inginkan?
Antara Narasi Transisi dan Realitas Investasi
Kita sering mendengar jargon transisi energi dari berbagai kementerian: "Net Zero Emission 2060," "dekarbonisasi sektor energi," dan "peningkatan bauran EBT (Energi Baru Terbarukan)." Namun realitasnya tidak seindah narasinya. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia justru terjebak dalam over-investasi pembangkit batu bara---disebut "program 35.000 MW"---yang sekarang malah menjadi beban karena permintaan listrik tidak tumbuh secepat prediksi.
Overcapacity atau kelebihan pasokan listrik ini kini menjadi kambing hitam atas ditariknya skema ekspor-impor PLTS atap. Pemerintah, melalui PLN, enggan membeli listrik dari atap rumah warga karena dianggap "membebani sistem." Ironis bukan? Warga yang ingin mandiri energi dan meringankan beban PLN justru dianggap beban.
PLTS Atap: Simbol Kemandirian yang Dikebiri
Padahal, penggunaan PLTS atap---terutama oleh rumah tangga dan industri kecil---bukan hanya soal listrik. Ini soal kemandirian energi, soal kedaulatan warga dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, dan dalam skala makro, ini adalah langkah konkret untuk mengurangi impor BBM dan mengurangi emisi karbon.
Di negara seperti Australia, pemerintah mendorong PLTS atap dengan insentif pajak, feed-in-tariff, dan program pembelian kelebihan energi oleh negara. Bahkan ada skema di mana kelebihan energi rumah tangga bisa dijual ke tetangga atau disimpan di baterai komunitas.
Begitu pula di Amerika Serikat, negara bagian seperti California mewajibkan pembangunan rumah baru dilengkapi panel surya. Pemerintah memberikan potongan pajak hingga 30% untuk pembelian sistem surya, termasuk baterai. Bandingkan dengan Indonesia, di mana harga listrik sengaja dijaga murah dengan subsidi, tetapi pembangunan energi bersih malah dibiarkan tersendat karena "tak menguntungkan secara bisnis."
Panel PV dan Baterai Semakin Murah, Tapi Pemerintah Diam
Seiring kemajuan teknologi, harga panel fotovoltaik (PV) dan baterai lithium mengalami penurunan drastis. Dalam lima tahun terakhir, harga sistem surya rumah tangga turun hingga 40%. Baterai penyimpanan seperti LFP (Lithium Iron Phosphate) juga kini tersedia dengan harga kompetitif, bahkan untuk pasar perumahan.
Ini adalah momen yang seharusnya dimanfaatkan pemerintah. Tapi entah kenapa, alih-alih memberi insentif, pemerintah justru menonaktifkan kebijakan pendukung. Tidak ada potongan pajak, tidak ada subsidi pembelian, tidak ada feed-in-tariff yang jelas. Semua dibiarkan pada kekuatan pasar. Tapi lucunya, ketika masyarakat mencoba mandiri, justru dihalangi.
Bukankah ini seperti mengeluh air langka, tapi menyumbat sumur-sumur warga?
Argumen Ekonomi yang Menyesatkan
Alasan yang sering dilontarkan pemerintah adalah bahwa harga listrik PLN masih lebih murah dibanding listrik swasta atau dari PLTS atap, sehingga tidak layak untuk "dibeli balik." Tapi kita perlu bertanya: murah untuk siapa?
Murah bagi warga, karena disubsidi. Tapi mahal bagi negara, karena setiap tetes diesel yang masuk ke genset PLTD di daerah terpencil adalah hasil utang dan devisa yang terbuang. Di sisi lain, investasi batu bara yang dipaksakan kini membuat PLN "terikat kontrak take-or-pay" dengan IPP (Independent Power Producer), di mana PLN harus membayar listrik meski tak terpakai. Maka yang sesungguhnya mahal adalah ketidakmampuan membuat kebijakan yang tepat sasaran.
Pemerintah Perlu Belajar dari Rakyatnya
Fakta bahwa masyarakat rela mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk memasang PLTS atap tanpa subsidi adalah tanda bahwa rakyat sudah lebih maju dari pemerintahnya. Mereka sadar akan potensi tabungan listrik jangka panjang, terhadap biaya lingkungan, dan terhadap isu kemandirian energi. Pemerintah justru tertinggal di belakang---terikat pada kepentingan jangka pendek, birokrasi lamban, dan ketakutan kehilangan pendapatan BUMN energi.
Pemerintah harus segera menyadari bahwa PLTS atap bukanlah "saingan PLN," melainkan sekutu strategis untuk membangun sistem energi yang resilien, bersih, dan desentralistik. Justru inilah momen untuk mengubah wajah sistem kelistrikan Indonesia dari terpusat dan monopolistik menjadi lebih demokratis dan terbuka.
Rekomendasi untuk Jalan Keluar
Agar PLTS atap tidak mati suri dan kebijakan energi tidak terus terjebak dalam status quo fosil, pemerintah bisa mempertimbangkan:
1.Menghidupkan kembali skema ekspor-impor listrik PLTS atap, dengan kuota tertentu dan tarif yang realistis.
2.Memberikan insentif fiskal, seperti pengurangan PPN atau pajak penghasilan untuk rumah tangga dan UMKM yang memasang sistem surya.
3.Mempermudah prosedur pemasangan dan perizinan, serta menyederhanakan standar teknis dan administrasi.
4.Mendukung produksi panel dan baterai dalam negeri, untuk menurunkan harga sekaligus meningkatkan lapangan kerja di sektor hijau.
5.Melibatkan komunitas energi lokal dalam program transisi energi berbasis partisipatif.
Penutup: Matahari Tidak Pernah Ingkar Janji
Matahari selalu terbit, bahkan ketika mendung dan kebijakan pemerintah membuatnya seolah tak bersinar. PLTS atap adalah simbol semangat rakyat untuk bangkit, untuk mandiri, dan untuk menciptakan masa depan energi yang bersih.
Tapi semangat rakyat butuh ruang untuk tumbuh. Dan ruang itu hanya bisa dibuka oleh keberanian pemerintah untuk mengambil keputusan yang berpihak pada masa depan, bukan pada kontrak masa lalu yang menguntungkan segelintir oligarki energi.
"Yang kita butuhkan bukan sekadar panel di atap, tapi keberanian di kursi-kursi pengambil kebijakan."
Jika Anda menyukai tulisan ini, jangan lupa berbagi dan ikut bersuara. Karena transisi energi bukan hanya soal teknologi, tapi soal keberpihakan. Dan keberpihakan sejati dimulai dari kemauan untuk mendengar sinyal dari langit---bukan dari batu bara di perut bumi.
DISCLAIMER
Tulisan ini disusun sebagai opini dan analisis independen berdasarkan data dan regulasi yang tersedia secara publik hingga Juli 2025.
Penulis tidak mewakili instansi pemerintah, perusahaan, atau asosiasi energi tertentu.
Analisis ini bertujuan untuk memberikan wawasan kritis dan edukatif mengenai kebijakan PLTS Atap di Indonesia.
Pembaca dianjurkan untuk melakukan verifikasi tambahan terhadap perkembangan terbaru atau peraturan yang mungkin berubah sewaktu-waktu.
⸻
📚 REFERENSI
1.Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap Terhubung Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU)
→ https://jdih.esdm.go.id/
2.Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021–2030 dan RUPTL 2024–2034
→ PLN.co.id dan Kementerian ESDM
3.Statistik EBTKE 2023 dan Outlook Energi Indonesia 2024
→ https://ebtke.esdm.go.id/
4.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 2023. “Target EBT 23% pada 2025.”
5.Institute for Essential Services Reform (IESR). 2024. “Market Trends and Barriers for Rooftop Solar PV in Indonesia.”
→ https://iesr.or.id
6.Komisi VII DPR RI, rapat dengar pendapat dengan ESDM dan PLN, Februari–April 2024.
7.Purnomo, Andi. 2023. “Kebijakan PLTS Atap: Di Mana Komitmen Energi Hijau Kita?” Jurnal Energi Hijau, Vol. 8, No. 2.
8.Berita CNBC Indonesia, Kompas, dan Kontan (2023–2025) seputar tarik ulur insentif net-metering dan perubahan regulasi ESDM.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI