Awalnya gue cuma pengen nyari kopi enak buat nemenin lembur. Lo tau lah, hidup anak muda zaman sekarang: kerjaan numpuk, deadline kejar-kejaran, otak serasa microwave---panas tapi isinya belum matang. Jadi, gue mampir ke kedai kopi pinggir jalan, bukan yang fancy, tapi aroma bijinya udah bikin kepala auto refresh.
Pas duduk, gue pesen kopi tubruk. Nggak fancy, nggak ribet, tapi jujur. Pertama tegukan, rasanya pahit. Tapi makin diseruput, ada aftertaste manis yang pelan-pelan nongol di ujung lidah. Di situlah gue mulai mikir---kopi tuh kayak hidup.
Pahitnya kayak masalah, manisnya kayak harapan. Dan kayak biji kopi yang harus digiling dulu biar jadi seduhan nikmat, hidup juga gitu. Lo mesti "digiling" sama proses, dihajar sama masalah, direbus sama tekanan, baru lo bisa 'disajikan' jadi versi terbaik lo.
Gue liat baristanya, fokus banget pas nyeduh. Takarannya pas, tekniknya teliti, bahkan air panasnya diatur suhunya. Gila, gue pikir nyeduh kopi cuma tinggal tuang air panas doang. Tapi ternyata ada seninya. Dan hidup juga kayak gitu, Bro. Lo pikir lo udah usaha keras? Coba cek lagi, udah pas takarannya belum? Udah lo bumbuin passion? Atau lo asal aja, berharap hasil enak dari proses yang setengah hati?
Dari secangkir kopi, gue sadar: hidup itu bukan soal cepet-cepetan, tapi soal ngeracik momen. Kadang lo harus sabar nunggu "brew time" biar rasa yang keluar nggak hambar. Kayak ngejar mimpi, lo butuh waktu dan kesabaran buat nikmatin hasilnya.
Jadi sekarang tiap kali gue minum kopi, itu bukan cuma soal ngusir kantuk. Itu semacam ritual kecil buat ngingetin diri---bahwa dari yang kecil dan simpel, kita bisa belajar hal besar. Kayak kopi, hidup nggak selalu manis, tapi selalu bisa dinikmati kalau lo ngerti cara nyeduhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI