Mohon tunggu...
Romi Febriyanto Saputro
Romi Febriyanto Saputro Mohon Tunggu... Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Bekerja di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen sebagai Pustakawan Ahli Madya. Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008. Email : romifebri@gmail.com. Blog : www.romifebri.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ikan Badut pun Diantar Ayah ke Sekolah

30 Juli 2016   08:00 Diperbarui: 30 Juli 2016   08:27 3901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah yang digelorakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelang tahun ajaran baru mengingatkan saya pada Film Finding Nemo. Film ini bercerita tentang kehidupan keluarga ikan badut yang bernama Marli. Ketika Marli dan “istrinya” tengah menunggui telur-telur yang hampir menetas datanglah seekor ikan besar yang memangsa telur-telur itu.

Sebagai seorang Ayah, Marli berusaha sekuat tenaga untuk melindungi keturunannya. Namun seperti peribahasa, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak tenaga Marli tak kuasa menahan serangan ikan besar pemangsa itu. Saat tersadar dari pingsan, Ia mendapati belahan jiwanya beserta telur-telur miliknya sudah tiada. Tetapi, ternyata ada satu telur yang masih tersisa. Marli merawat dengan baik telur ini sampai menetas dan lahirlah Nemo.

Ketika memasuki usia sekolah, Marli dengan penuh semangat mengantar Nemo menikmati hari pertama sekolah. Padahal saat itu Anies Baswendan (Kini mantan Mendikbud) belum meluncurkan “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah” …he..he…he… Ayah Nemo yang masih trauma dengan tragedi kehilangan telur banyak memberikan larangan kepada Nemo demi menjaga keselamatannya. Seperti dilarang berenang mendekati permukaan laut.

Nemo yang merasa sudah besar merasa risih dengan larangan ini. Nemo malah nekat melanggar larangan ini untuk membuktikan bahwa kekhawatiran Sang Ayah itu sebenarnya tidak perlu. Nemo pun akhirnya tertangkap oleh penyelam dari Sydney dan petualangan Sang Ayah mencari Nemo dimulai.

Seorang teman mengatakan kepada saya bahwa memberi perhatian pada anak tidak bisa disederhanakan dengan mengantar anak masuk hari pertama sekolah. Saya menjawab bahwa gerakan mengantar anak hari pertama sekolah perlu dipahami sekedar alat peraga. Pesan yang terkandung adalah untuk menghasilkan generasi emas tak bisa hanya mengandalkan pendidikan di sekolah namun juga perlu dukungan pendidikan keluarga dari orang tua. Mengapa ? Pendidikan anak bukan hanya tanggungjawab guru melainkan lebih banyak merupakan tanggung jawab orang tua.

Untuk kesuksesan anak kita perlu kerjasama yang erat antara orang tua dan guru. Munif Chatib (2012) dalam buku Orangtuanya Manusia, mengungkapkan pertama, bahwa orang tua harus menjadi sahabat sejati guru. Ibarat kepak sepasang sayap burung, jika keduanya bekerjasama dengan baik burung ini akan mampu terbang ke mana pun dan kapan pun. Sebaliknya jika di antara kedua sayapnya terjadi ketidakharmonisan, sang burung akan sulit terbang dan akhirnya terjatuh. Kedua sayap burung tersebut adalah orang tua dan guru, sedangkan sang burung itu sendiri adalah anak kita tercinta.

Dengan demikian, rumah dan sekolah harus menjadi institusi pengembang bakat dan minat anak, hingga akhirnya dia menemukan kondisi terbaiknya. Orang tua sebagai pilot di rumah dan guru sebagai pilot di sekolah, sama-sama berperan mengarahkan ke tujuan akhir anak tersebut. Jika orang tua dan guru menjadi sahabat sejati, semangat menjadikan anak sebagai insan terbaik dunia dan akhirat akan terus terjaga.

Sebuah kerugian besar jika pada masa anak-anak kita bersekolah, orang tua dan guru gagal menjadi sahabat sejati. Padahal, keduanya ibarat sepasang kaki agar anak siap mendaki gunung kehidupan yang sebenarnya.

Kedua, Orang tua harus menganggap guru sebagai orang tua kedua anak-anaknya dengan alasan jika anak-guru menjadi dekat selama masa belajar anak, guru akan punya tempat tersendiri di hati anak mereka. Jika paradigma ini dimiliki oleh orang tua dan guru, ketika anak melakukan kesalahan di sekolah atau di rumah baik disengaja maupun tidak, keduanya berusaha membantu menyelesaikannya.

Ketika seorang guru menerapkan disiplin yang keras kepada siswa dalam batas wajar, orang tua harus menganggap guru tersebut melakukannya disebabkan rasa sayang kepada anaknya. Atau, jika guru marah kepada anak, orang tua harus berpikiran positif terhadap sang guru. Hal tersebut berlaku sama ketika orang tua memarahi anak karena ada sesuatu yang perlu diluruskan dalam diri anak kita.

Ketiga, orang tua harus sadar dan memahami bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan yang kompleks dan penuh dinamika. Bahkan, pekerjaan guru ini perlu didukung dalam berbagai aspek. Sebagai perbandingan apabila orang tua mengasuh lima orang anak di rumah sudah merasa berat dan lelah, apalagi guru yang mengasuh terkadang sampai 30 anak dalam satu kelas dengan beraneka ragam perangai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun