Mohon tunggu...
Taufiq Ahmad Romdoni
Taufiq Ahmad Romdoni Mohon Tunggu... Ilustrator - Pemikir

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apa Kabar RUU PKS? (Bagian 2, Lika-Liku RUU PKS dalam Proses Legislasi)

7 Februari 2021   18:05 Diperbarui: 7 Februari 2021   18:46 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Setelah menulis pada artikel sebelumnya pada Bagian 1 mengenai konsep kekerasan seksual yang disampaikan oleh Faiqoh dalam kegiatan diskusi Urgensi RUU PKS oleh Mata Garuda LPDP 4.0, selanjutnya saya ingin menulis kembali kelanjutan dari diskusi tersebut. 

Pada tulisan sebelumnya, Faiqoh membahas mengenai konsep kekerasan seksual dari definisi, perkembangannya di Indonesia, hingga akhirnya masuk pada jenis kekerasan seksual dalam kerangka peraturan. Komnas perempuan membagi jenis-jenis kekerasan seksual ke dalam 15 bentuk, namun dalam RUU PKS hanya terdapat 9 jenis kekerasan seksual. Jenis-jenis tersebut antara lain:

  • Pelecehan seksual;
  • Eksploitasi seksual;
  • Pemaksaan kontrasepsi;
  • Pemaksaan aborsi;
  • Perkosaan;
  • Pemaksaan perkawinan;
  • Pemaksaan pelacuran;
  • Perbudakan seksual; dan/atau
  • Penyiksaan seksual.

Jenis-jenis kekerasan seksual yang sudah tercantum dalam RUU PKS sudah lebih banyak dibandingkan dengan lingkup kekerasan seksual yang tercantum dalam Undang-Undang sebelumnya. Oleh karena itu, selama ini Undang-Undang yang ada belum sepenuhnya mengkategorikan jenis-jenis kekerasan seksual. Selain itu, mekanisme perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual belum diatur secara komprehensif. Perumusan hak-hak korban hanya diatur dalam Undang-Undang tertentu seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Permasalahan ini kemudian dibahas oleh pemantik selanjutnya yaitu Mirisa Hasfaria, seorang World Resource Institute (WRI) Indonesia. Mirisa menyinggung soal peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih banyak memiliki loophole (celah) dalam hal kekerasan seksual. 

Selain itu, permasalahan Undang-Undang yang ada dalam hal kekerasan seksual antara lain 1) tidak bisa memberi hukuman yang layak bagi pelaku, 2) tidak bisa mengakomodir kebutuhan korban untuk pemulihan dan rasa keadilan, dan 3) tidak menunjukkan kewajiban negara dalam rangka pemulihan yang dibutuhkan korban serta memutus mata rantai pelaku. Oleh karena itu lah diperlukan peraturan yang bersifat lex specialis, dalam hal ini RUU PKS.

Pemantik diskusi mengkritik bahwa selama ini kita melihat ketidakmampuan anggota legislatif untuk menghasilkan Undang-Undang yang sifatnya berperspektif gender serta memberi keadilan bagi korban. Pencapaian terakhir ini mungkin pembuatan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Selepas UU PKDRT, DPR RI belum lagi membuat Undang-Undang mengenai kekerasan seksual. Saat ini, RUU PKS yang sedang diusulkan tak kunjung disahkan.

Selama ini, dalam prosesnya, RUU PKS mengalami berbagai hambatan khsusunya di dalam parlemen itu sendiri. Terdapat tarik menarik kepentingan sehingga RUU PKS tak kunjung disahkan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa RUU Cipta Kerja begitu mudah dan cepat disahkan? Meskipun RUU Cipta Kerja banyak ditentang oleh kelompok akademisi serta organisasi masyarakat sebesar NU dan Muhammadiyah sekalipun, RUU Cipta Kerja tetap dilanggengkan.

RUU PKS tidak lah seberuntung RUU Cipta Kerja. RUU PKS menghadapi pertentangan dari kelompok konservatif, sehingga membuatnya terhambat. berulang kali keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Terakhir, RUU PKS kembali dimasukkan dalam Prolegnas tahun 2021.

Selain hambatan dalam hal politik, alasan mengapa RUU PKS sulit diundangkan menurutnya yang pertama adalah Rendahnya literasi masyarakat Indonesia. Literasi yang dimaksud berupa pemahaman mengenai kekerasan seksual itu sendiri. Selain itu, tak sedikit masyarakat Indonesia yang malas membaca draft RUU PKS, sehingga memiliki opini yang tidak sesuai dengan isi RUU PKS. 

Kemudian hambatan yang kedua adalah sulitnya membuat kebijakan yang betul-betul berbasis pada bukti. Sebagai contoh, KOMNAS Perempuan nyatanya telah melakukan berbagai riset, mengumpulkan banyak fakta dan laporan. Selain itu, naskah akademik RUU PKS pun dirancang berdasarkan metodologi yang benar dan absah. Sehingga mengapa sulit mengundangkan peraturan yang benar-benar berangkat dari fakta di lapangan begitu sangat jelas dan gamblang?

Kemudian Mirisa menyampaikan bahwa selama ini, dalam prosesnya RUU PKS sudah mencoba berkompromi dengan berbagai pihak, terutama pihak kontra untuk mengakomodir persoalan RUU PKS. Salah satu hal yang sudah dikompromikan adalah mengenai definisi kekerasan seksual, lingkup dan jenis. RUU PKS dirasa telah mengakomodir seluruh lapisan masyarakat, baik agama, maupun kelompok lainnya. Jika sampai saat ini RUU PKS juga masih mendapat pertentangan, maka kompromi apalagi yang perlu dilakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun