Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gowes, Drama Perjalanan Antara Semangat dan Nafsu

18 Februari 2020   16:43 Diperbarui: 18 Februari 2020   16:40 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nampang sebentar dibentangan sawah. (dokumen pribadi)

Semasa hidupnya bekerja sebagai penterjemah/juru bahasa di kantor Karesidenan Surakarta. Bersama dengan isterinya: Jacoba Hendrika Logeman, meninggal: 1928. Dipindah oleh para pecinta Kasusatraan Jawi dari pemakaman Kerkop di Jebres-Surakarta menuju pemakaman Palar pada tanggal 30 Januari 1984 atau tanggal 21 Bakdomulud, Alip 1916) .

Dibawahnya masih ada plat logam bertulis: Pambanguning pasareyanipun tuwan C.F.Winter punika awit saking bantuanipun Koninklijk Instituut Voor Taal_Land En Volkunde, Cabang Jakarta. Ing taun 1985 (pembangunan makam tuan CF.Winter ini atas bantuan Koninklijk Instituut Voor Taal_Land En Volkunde, cabang Jakarta di tahun 1985).

Cukup sudah saya berada dalam komplek. Segera keluar untuk segera pulang.
"Sampun, nak"(sudah, nak) suara ibu tua itu mengagetkan saya. Sebuah bangunan Joglo modern dengan keramik putih bercorak menjadi sarana beliau dengan seorang lelaki setengah tua beristirahat. Ibu itu dengan senyum ramah melanjutkan sapaannya, "Saking pundi, nak?"(darimana, nak)
"Saking Solo, bu"(dari Solo, bu), saya jawab sembari merendahkan posisi badan dengan jongkok-karena posisi si ibu duduk dilantai.

"Solo nipun pundi?"(Solo nya dimana). Beliau sepertinya tertarik dengan asal saya. Kok ada orang muda mau-maunya ziarah ke makam pujangga kelahiran 1802 Masehi, naik sepeda lagi. Mungkin perkiraan si ibu saya sedang melakukan laku prihatin-ada sesuatu yang sedang saya "raih".
"Rumiyin kulo inggih dangu wonten Solo, nak"(dulu saya juga lama di Solo, nak)
Saya sebutkan kampung saya. Si ibu bertambah antusias, "Kaliyan stanplat Gemblegan pundine? Ngertos namipun(ia menyebut nama perempuan), nak?"(sama stanplat Gemblegan letaknya dimana. Tahu namanya...., nak).

 Saya sekarang yang dibuat kaget. Kata 'stanplat' sudah jarang saya dengar. Orang jaman dulu seangkatan mbah dan ibu saya masih sering mengucapkan kosakata itu. Kalau sekarang disebut 'terminal'. Dengan sabar saya jelaskan lokasi itu dengan gamblang. Apakah si ibu tidak tahu kalau stanplat Gemblegan sudah musnah bertahun-tahun yang lalu? Sekarang tempat tersebut dikonversi jadi gerumbul ruko modern. Sudah ramai. Bahkan kalau menyeberang jalan harus kongkang kewaspadaan. 

Samar-samar ingatan saya dipaksa kembali ke 1977(umur 3 tahunan). Hiruk pikuk stanplat Gemblegan terangkat disamudra pikiran. Ditengah perempatannya ada bangunan melingkar rendah. Seorang gila menjadikan itu sebagai basecamp. Bemo, bus engkolan bersliweran bersama teriakan kernet. Kepulan asap jumpalitan mengisi ruang kosong.

Apakah si ibu itu sudah lama tidak ke Solo? Berapa usianya? Saya melihat ubannya bertimbulan bak kebun kapas di bentangan ladang. Si ibu ini selalu sunggingkan senyum pada setiap pengunjung. Apakah dia memang mengabdikan diri ditempat itu? Mengasingkan diri ditengah perubahan jaman? Agar tidak ikut "edan" dijaman yang sudah edan ini?
Pamit merupakan pamungkas saya pada si ibu. "Mugi-mugi sukses, nak", ujarnya.
"Inggih, bu"

Menuntun sepeda hingga keluar gerbang, menoleh sebentar ke belakang sebagai salam perpisahan.
Beberapa menit kedepan saya akan dibuat sedikit frustasi. Panasnya matahari menggerus kekuatan tubuh. Paha menegang, kulit tubuh yang tidak terlindung sengat mengkilat berkilau. Arah pulang memakai rute sama. Tugu 'Lurik Prasodjo' riuh rendah dihimpit kerumunan rakyat desa. Pergerakan ekonomi menggeliat ditempat ini. 

Mengamati mereka, menemukan rasa yang lama tidak singgah. Saya masih kuat, dan harus kuat. Dengus napas mulai panas, genggam jemari melepuh karena keseringan pindah gear mengatur speed. Model shifter sepeda yang saya pakai adalah diputar, tidak di sentil pakai jempol. Pikiran mulai dicemari jarak. Ini sangat berbahaya bagi psikologis. 28 KM harus saya tempuh kembali. Nantinya saya baru tahu, kalau hari ini saya telah gowes 57 KM, menghabiskan waktu 5 jam 16 menit(versi linimasa Google map).

Tata aturan bagi peziarah. (dokumen pribadi)
Tata aturan bagi peziarah. (dokumen pribadi)
Perjalanan pulang memaksa saya harus sering berhenti, gelontor air mineral ke tenggorokan. Berbagi jalan dengan body besar truk logistik atau pasir, sepeda motor, colt mengangkut tanah uruk dan ting..tong seorang penggowes memberi salam.

Inilah yang disebut napsu besar tenaga pas-pasan. Kondisi ini beberapa tahun yang lalu pernah saya alami. Tahun '97 an, gowes adalah aktivitas saya.  Karena kalau berangkat kerja kadang pakai sepeda-merek City Cat dan Federal(gantian)- atau jalan kaki. Pernah suatu hari gowes ke Jumapolo-Karanganyar yang medannya naik turun. Ditengah jalan dekat hutan kecil saya menyerah. Tenaga drop. Mau pulang awang-awangen. Pikiran saya malah ora nggenah, mau bermalam disitu, karena sudah ambyar tenaganya. Istirahat berjam-jam baru pulih, kemudian pulang dengan kepayahan bak prajurit kalah perang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun