Mentalitas para mahasiswa yang terbukti lolos seleksi karena membayar lambat laun akan  dibongkar dan di bullying habis-habisan oleh rekan satu angkatan atau seluruh mahasiswa yang berada di dalam kampus yang sama. Kemungkinan penghakiman secara verbal akan di lakukan warga-net atau malah warga yang berada di sekitar tempat tinggal mahasiswa bersangkutan, menjadi sangat mungkin terjadi apalagi di dukung dengan keterbukaan dan masifnya informasi di era ini.
Belum lagi di dunia praktisi, bahwa kemungkinan terjadinya efek domino atas penangguhan rekrutmen dari perusahaan untuk lulusan universitas tertentu karena kekhawatiran pihak perusahaan atas kemampuan sumber daya manusia yang lulus dari universitas bermasalah yang sehingga secara tidak langsung menghilangkan persaingan sehat dalam mencari pekerjaan.
Jika demikan, siapa yang akan bertanggung jawab atas mental mahasiswa yang terguncang karena menghadapi tekanan demi tekanan yang terjadi pada mereka, padahal belum tentu dari mereka "mau" dan "tau" untuk masuk melalui jalur mandiri lewat pembayaran tidak resmi. Bisa saja, hal itu di dorong juga oleh egosentris para orang tua dengan alasan menjaga nama baik keluarga di lingkungan sosial.
Menyoal tindakan preventif
Penerimaan mahasiswa baru (PMB) jalur mandiri bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang diperbolehkan oleh Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan, walaupun jika di kaji secara detail hal ini menjadi celah korupsi terbesar di lingkungan PTN karena sejak awal di rancang sebagai media penerimaan mahasiswa baru berdasarkan kemampuan membayar calon mahasiswa sebagaimana di sampaikan pengamat pendidikan Dharmaningtyas pada kompas.com
Mengerti, bahwa memang tidak mudah untuk menggugat sebuah pasal yang di anggap bermasalah dan menjadi celah lahirnya suap, karena ada sudut pandang lain yang dirasa penting agar pasal itu tetap ada atau bahkan ada muatan politis lainnya sehingga tidak dapat di utak-atik. Buktinya, sampai sekarang ketentuan hukum mengenai jalur mandiri di PTN masih berlaku aktif.
Mungkin kesusahan untuk merubah dasar hukum inilah yang akhirnya melahirkan pengembangan platform "JAGA kampus" atau JAGA.ID yang dimaksud agar meningkatkan partisipasi publik dalam mengawasi atau melaporkan tindak pidana  korupsi di area kampus.Â
Apresiasi patut diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi (Kemdikbud Ristek) yang telah meluncurkan platform tersebut sejak bulan februari tahun 2022, dan terbukti menelurkan hasil setelah 6 bulan beroperasi.
Namun, apakah kekuatan mahasiswa-mahasiswi dalam berpikiri kritis, idealis, dan bertindak atas nama solidaritas tidak mampu lagi membawa kebijaka kampus ke arah lebih baik?Â
Atau memang tidak ada lagi keberanian-keberanian yang dari dalam diri mahasiswa untuk berbicara lantang tentang permasalahan yang terjadi sehingga untuk mengetahui permasalahan di depan pelupuk mata harus bergantung pada sebuah platform. Kita sudah dewasa, pendidikan karakter