Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Flores Memanggilku Pulang

18 September 2014   13:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:21 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_359856" align="aligncenter" width="700" caption="Penulis mengendarai sepeda motor menjelajahi kampung ke kampung (dok pribadi)"][/caption]

PELABUHAN laut Lorens Say, Minggu pagi itu sangat gerah, disapu suhu udara kota Maumere yang panas. Buruh pelabuhan hiruk – pikuk mencari pelanggan. Mereka menawarkan jasa. Andai ada penumpang kapal punya banyak barang bawaan, mereka siap memikulnya. Seorang datang menawarkan jasanya kepada saya. Saya menggeleng pelan, tidak banyak barang bawaan. Hanya sebuah tas pakaian dan sebuah dos berisi buku – buku. Dan semua itu bisa saya pikul sendiri.

Di sebuah warung kopi itu, saya membuka pesan singkat dari layar handphone. Berulang kali saya membacanya. Pesan itu dikirim ketika saya tiba di stasiun Pasar Turi Surabaya. Lalu saya menyimpannya. Tiga hari tiga malam mengarungi lautan dari Surabaya menuju Maumere, Flores memang menjenuhkan. Saya hampir bosan, tidak kuat menunggu segera menginjakkan kaki di tanah Flores. Tanah Nusa Nipa yang kutinggalkan sepuluh tahun lalu. Dan untung, cuaca juga bersahabat. Perjalanan aman hingga saya bisa menyerumput kopi pagi dan membaca kembali pesan itu.

“Roman, Jakarta terlalu kejam untuk kau tapaki. Pulanglah ke Flores, tanah kelahiran kita. Masa depan menantimu di sana, untuk kau petik segenggam cita. Tapi bukan sebagai PNS. Sebab itu hanya milik orang – orang ‘dalam’. Orang seperti kita, tidak bisa duduk di sana”. Ini bunyi pesan singkat yang saya belum paham maknanya. Hanya saja, ketika membaca lagi sembari meneguk kopi pagi  ini, saya dikuatkan. Tidak ada cemas. Putus asa pun sirna. Merasa diri terasing di tanah sendiri sejenak hilang. Kupacukan tekad untuk teguh melangkah, meraih mimpi yang tersisa di tanahku.

Senja menukik di ujung Barat. Sedikit lagi hilang di balik bebukitan kampung. Tertinggal lelah menghampiri tubuh, setelah seharian merenggut perjalanan Maumere – Ende, dilanjutkan Ende ke Rajawawo – asalku. Tidak ada buah tangan untuk kedua orangtua, kakak dan adikku, roti bakar kesukaan ayahku dan martabak spesial kesukaan bunda. Tidak pula kue kering kegemaran sepupu – sepupuku yang masih kecil – kecil. Dan uang hasil menguras keringat di kota metropolitan hanya untuk uang jalan.

Bukan uang, modal yang kubawa adalah keahlian dan pengalaman. Itu terangkum hanya dalam selembar ijazah sarjana ekonomi dan sertifikat akta empat dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Tanpa malu kutunjukkan ke kedua orangtua. Mata berkaca – kaca, mereka memandang dua lembar dengan di pojoknya berhologram itu. Tentu saja asli sebab kudapatkannya dengan sudah payah dan airmata. Ada ‘kristalisasi keringat’ dalam lembar – lembar itu – sejenak pinjam istilah Mas Tukul.

To Mentiruran, aku seperti orang asing di tanah sendiri. Teman – teman sebangku SD dulu entah di mana. Beberapa sudah berkeluarga. Ada juga yang sudah mempunyai NIP. Tentu saja mereka sibuk dengan profesi mereka masing – masing. Tiga bulan menjadi penganggur sangat jenuh di kampung. Putus asa sudah mulai nampak. Pesan teman masih saya simpan, tapi belum cukup mengobati pupus harapan. Ini sungguh tantangan yang tidak mudah. Apalagi masyarakat sekitarku masih mendewakan profesi kaum ber-NIP. Menjadi seorang pegawai negeri menjadi andalan. Bahkan status sosial naik drastis. Mereka dipandang orang hebat dan punya banyak uang. Punya gaji. Sedang saya belum jelas masih mencari – cari pekerjaan yang pas. Cibiran bibir perlahan nampak. Sungguh kulewati ini tidak segampang mengedipkan alis mata.

Setelah melewati proses seleksi yang ketat, seminggu kemudian, saya diterima di sebuah kantor Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Flores Mandiri. Tepat 01 November 2011, saya bergabung di lembaga ini. Puskopdit Flores Mandiri adalah sebuah koperasi sekunder yang memayungi kopdit – kopdit primer di wilayah Kabupaten Ende, Ngada dan Nagekeo. Sekitar 50-an koperasi kredit primer di bawah naungannya. Dulu dikenal BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah) Flores bagian Barat. Untuk Indonesia disebut Induk Koperasi Kredit (Inkopdit), yang berkantor di Jalan Gunung Sahari III No 11, Jakarta.

Bunda Teresa dari Calcutta pernah menulis, “hanya sedikit di antara kita bisa melakukan hal – hal yang besar, tetapi semua kita bisa melakukan hal – hal kecil dengan cinta yang besar.” Selekas kata – kata ini menghapus gelisah dan cemasku, profesi non PNS tidak dilirik sebelah mata. Saya memaknai ini. Saya mencintai tugas ini. Bukan hanya kaum ber-NIP yang bisa mengabdi bagi masyarakat. Dalam hati, ingin melenyapkan pandangan suram, bahwa status sosial naik tidak hanya lewat jalur birokrat. Sekaligus menguatkan jiwaku akan pesan ‘pulanglah ke Flores’. Sebab hujan emas di tanah orang tidak sama dengan hujan batu di negeri sendiri. Seakan Flores memanggilku untuk berbakti dalam bidang ekonomi berbasis kerakyatan ini.

Hari ini genap 2 tahun 10 bulan dan 18 hari saya bergabung di Puskopdit Flores Mandiri. Ibarat usia seorang anak manusia, saya baru tertatih – tatih berjalan. Saya terbatah – batah belajar berkata – kata. Tapi, bukan soal umur yang masih seperti anak kecil. Lebih dari itu, saya melakukan semua itu dengan cinta yang besar. Sebagai staf audit, dari kopdit ke kopdit, kampung ke kampung hanya mau memastikan semua transaksi keuangan anggota kopdit (sebagian besar petani) berjalan sesuai kaidah akuntansi, tanpa mengabaikan kejujuran, ini penting. Sebab kopdit menampung dan mengelola hasil keringat masyarakat kecil. Sabar mendampingi manajemen kopdit dengan tata kelola organisasi yang ideal berbasis inovasi IT. Dan tekun mendidik masyarakat kecil untuk menabung demi masa depan yang lebih baik.

Hingga dalam sebuah permenungan kecil, saya sadar sebenarnya masyarakat Flores tidak miskin secara materi tetapi miskin wawasan, pengetahuan dan karakter. Ketiganya mengkerdilkan segala potensi diri. Singkatnya, hasil tanah Flores seperti kakao, kopi, kopra, vanili, kemiri dan cengkeh melimpah. Ada uang tapi belum tahu cara mengaturnya. Budaya pesta dan belis yang mengekang makin memperparah kondisi itu. Kopdit hadir untuk meminimalisir semua itu tanpa melupakan makna sosial budaya yang terkadung dalam pesta dan belis (adat perkawinan).

Demikian, aksi saya untuk Indonesia, terutama bagi masyarakat Ende, Ngada dan Nagekeo. Meski kecil, tapi saya melakoni ini semua dengan cinta yang besar. Sebab Flores telah memanggiku pulang. Nusa Nipa membutuhkanku.

[caption id="attachment_359860" align="aligncenter" width="700" caption="Sedang melakukan audit kas fisik pada sebuah kopdit (dok pribadi)"]

14110223741606273963
14110223741606273963
[/caption]

[caption id="attachment_359857" align="aligncenter" width="700" caption="Pendampingan manajemen keuangan koperasi pada salah satu kopdit (dok pribadi)"]

14110222311069112656
14110222311069112656
[/caption]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun