Mohon tunggu...
Romi Romadhoni
Romi Romadhoni Mohon Tunggu... -

@romi_mr Development Planner. Master of Development Planning (Univ of Queensland). Urban issue enthusiast. Economic equity is the new growth

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Janji Suci Founding Father yang Dilupakan: Pengkonsentrasian Kepemilikan Tanah Makin Ekstrem

2 Oktober 2016   10:54 Diperbarui: 2 Oktober 2016   11:17 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Seperti menggaungkan kembali pertanyaan mendasar, mengapa kita harus bersusah-susah mengikat diri dalam sebuah entitas bernama Indonesia? Dan untuk kegunaan apa, what is the real purpose,  kita merajut diri bersama komponen ke-Indonesiaan yang lain, untuk sama - sama menapaki jalan ke yang akan datang?.

Kita bersyukur  karena kita cukup beruntung, para founding father sudah memahatkan  titik terang itu : “Keadilan sosial”, untuk “Memajukan kesejahteraan umum” dan “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apa janji – janji suci  ini masih bisa menjadi semen perekat? - menjadi panggilan kita.

Pembangunan yang diamanatkan oleh pendiri negara adalah yang berpusat pada manusia, pada pilar – pilarnya di kualitas sosial dan lingkungan juga ekonomi. Bukan melulu tentang penumpukan modal dan pengkonsentrasian kepemilikan tanah oleh orang per orang.

Bagaimana jika, ternyata,  pola – pola yang mengeksploitasi masih terjadi , di tanah negeri ini, di masa sekarang ini?

Pada kenyataannya yang dianut sekarang bukan lagi sistem pasar yang bebas, namun sudah menjadi liar. Akibat ikutannya, ekspansi penguasaan tanah oleh segelintir terus berlangsung secara eksponensial. Ikut melibas aset – aset sosial masyarakat dan memporak porandakan ekosistem lingkungan. Secara  brutal.  

Laporan  Bank Dunia pada 15 Desember 2015,  menyebutkan bahwa sekelompok kecil orang -  0,2% dari populasi -   ternyata menguasai  74% tanah di Indonesia. Dibandingkan negara- negara lain di dunia, struktur kepemilikan tanah demikian termasuk timpang yang  ekstrem. Dan bisa jadi ini lebih parah ketimbang jaman kolonial Belanda dulu. Sebagai perbandingan, Afrika Selatan pada kondisi terburuknya,  5% penduduk kulit putih menguasai 50% tanah.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hafid Abbas memaparkan bahwa  ada satu orang pemilik grup perusahaan menguasai tanah Indonesia  sampai seluas 5 juta hektar. Ini berarti  8,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. 

Bisa di cermati di link berita berikut

Negara seperti tak berpihak pada mereka yang miskin dan nir-akses. Proses peminggiran  ini terjadi secara struktural. Rumah tangga yang tak punya akses – ruang-fisik, sosial, finansial dan kelembagaan  - makin terisolasi. Perangkat hukum semata jadi  alat pelanggengan mereka yang turah-kuasa.

Janji suci para founding father telah dilupakan.

Akses masyarakat miskin terhadap tanah amatlah penting bagi mereka untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, dan mulai menapaki anak tangga pertama perbaikan kualitas hidup. Hafid menambahkan idealnya distribusi tanah mengikuti formula 1 juta untuk orang kaya, 2 juta untuk kelas menengah, dan 3 juta untuk masyarakat miskin. Best practice di Swedia misalnya,  bisa dijadikan. Pada tahun 1979, sekitar 70 persen tanah di Swedia telah menjadi milik publik, melalui mekanisme Bank Tanah yang sudah  dimulai sejak tahun 1904.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun