Mohon tunggu...
Warisan Literasi Mama
Warisan Literasi Mama Mohon Tunggu... Freelancer - Meneruskan Warisan Budaya Literasi dan Intelektual Almarhumah Mama Rohmah Tercinta

Mama Rohmah Sugiarti adalah ex-writerpreneure, freelance writer, communications consultant, yogini, dan seorang ibu yang sholehah dan terbaik bagi kami anak-anaknya. Semoga Mama selalu disayang Allah. Alfatihah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai Ritual Mencuci Pusaka untuk Bekal Hadapi Pandemi dan Ancaman Resesi

20 Agustus 2020   01:08 Diperbarui: 20 Agustus 2020   01:10 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
| Sumber Foto: Dokpri/ISTPengumuman peniadaan kirab pusaka kraton Mangkunegaran karena pandemi Covid 19 | Sumber Foto: Dokpri/IST


Pergantian tahun baru Islam pada 1 Muharan, selalu bersamaan dengan malam tahun baru kalender Jawa yaitu malam satu Suro.Bagi  orang Jawa, malam Satu Suro ini memiliki nilai kesakraln yang sangat tinggi. Dipercaya memiliki daya mistis dan kekuatan-kekuatan gaib yang luar biasa, sehingga banyak laku atau ritual tradisi yang dilakukan pada hari tersebut.

Sebut saja diantaranya ada tapa bisu, tirakatan, kungkum, kirab budaya, dan pencucian pusaka kerajaan maupun milik perorangan atau masyarakat.

Konon, semua laku atau ritual tradisi yang bermula pada zaman Sultan Agung yaitu sekitar tahun 1613-1645 tersebut, merupakan inisiatif sang Sultan untuk mengembangkan ajaran Islam dengan memadukan tradisi Jawa yang telah ada dengan ajaran Islam.

Selain menyamakan awal tahun baru Jawa 1 Suro dengan tahun baru Islam (Hijriah) 1 Muharam, ritual dan tradisi malam satu Suro juga menitikberatkan pada ketentraman batin serta keselamatan.

Dus ritual-ritual pada malam satu Suro tersebut, biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang sudi hadir dan turut merayakannya bersama-sama.

Harapannya hal itu dilakukan agar mendapatkan berkah dan sekaligus sebagai penangkal datangnya marabahaya (tolak bala).

Setelahnya, sepanjang hari-hari di bulan Suro tersebut masyarakat Jawa juga meyakini adanya kewajiban untuk terus memelihara sikap eling (ingat) dan waspada. Eling  tersebut membawa pesan bahwa manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada membawa pesan bahwa manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan-godaan yang menyesatkan.

Memang, penggabungan budaya Jawa dan Islam yang diinisiasi Sultan Agung di atas tidak berjalan mulus oleh semua pihak.  Ada golongan pemeluk Islam yang fanatis yang menganggap tradisi Suroan di atas sebagai tradisi menyimpang ajaran Islam yang sejati. Karena itulah mereka menentang pelaksanaan tradisi Suroan tersebut secara terang-terangan.

Misalnya penentangan mereka terhadap tradisi "ngumbah keris" atau  "jamasan pusaka". Ada kalangan yang menganggap tradisi memuliakan pusaka tersebut sebagai perilaku syirik atau menyekutukan Tuhan. Berdasarkan alasan itulah maka beberapa waktu lalu, sempat viral video aksi sebuah golongan masyarakat yang menggerinda keris, memotog-motong pusaka dan memusnahkan dengan membakarnya.

Sontak aksi oknum kelompok masyarakat tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai kalangan. Kenapa keris yang notabene merupakan benda budaya karya cipta nenek moyang yang  memiliki citarasa seni tinggi tersebut harus dihancurkan seperti itu.

Jikapun ada pemahaman dan keyakinan yang salah terkait keris pusaka, tentunya yang salah adalah orang yang memiliki keyakinan tersebut. Keris hanyalah benda mati yang tak pantas ditakuti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun