Pendidikan Karakter: Antara Jargon, Ketidaktepatan, dan Harapan yang Tersisa
Oleh: Rohmadi,SPd
Pendidikan karakter , sebuah frasa yang kian akrab di telinga kita. Spanduk besar bertuliskan nilai-nilai luhur seperti religius, jujur, disiplin, toleransi, dan gotong royong gagah terpampang di gerbang sekolah dasar. Kurikulum pendidikan karakter digadang-gadang sebagai jawaban atas krisis moral bangsa. Namun, di balik jargon dan formalitas yang rapi, sudahkah pendidikan karakter benar-benar menyentuh esensi hati nurani anak-anak kita? Atau jangan-jangan, ia hanya menjadi seremonial kosong yang justru merenggut makna sesungguhnya?
Sebagai seorang pemerhati pendidikan, saya melihat ada beberapa titik kritis yang perlu disoroti tajam dalam praktik pendidikan karakter di jenjang sekolah dasar saat ini. Jika tidak segera dibenahi, pendidikan karakter yang sejatinya mulia ini justru berpotensi menjadi bumerang bagi masa depan generasi.
1. Pendidikan Karakter masih Sekadar Jargon dan Formalitas
Realitas di lapangan menunjukkan jurang lebar antara visi dan implementasi. Nilai-nilai karakter memang tercantum indah di dinding sekolah, mading, atau bahkan dalam visi dan misi lembaga. Namun, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar diintegrasikan dalam napas pembelajaran dan budaya sekolah?
Seringkali, momen seperti upacara bendera menjadi satu-satunya sarana "penanaman nilai". Anak-anak diajak mengucapkan janji, menyanyikan lagu kebangsaan, atau mendengarkan ceramah. Namun proses refleksi dan internalisasi nilai kerap absen. Nilai-nilai itu hanya berhenti di lisan, tak menembus perilaku. Ini bukan pembentukan karakter ini ritual pengucapan karakter.
2. Hukuman Menggantikan Keteladanan dmana Pola Usang yang Masih Dipelihara
Ironisnya, alih-alih membangun karakter melalui pembiasaan dan keteladanan, banyak guru dan institusi masih menggunakan pendekatan hukuman bahkan hukuman fisik dan psikologis saat siswa dianggap melanggar nilai.
Contohnya: anak yang terlambat sekolah atau lupa PR langsung diberi hukuman membersihkan toilet. Padahal, belum tentu ia memahami nilai disiplin itu sendiri. Tanpa pembinaan yang menyentuh akar masalah, pendekatan ini hanya menumbuhkan rasa takut, bukan kesadaran. Tanpa keteladanan yang kuat dari guru, nilai hanya menjadi tekanan, bukan inspirasi.
3. Cara Belajar Anak SD yang Diabaikan lebihke Ceramah Ketimbang Pengalaman
Anak usia sekolah dasar belajar lewat bermain, pengalaman, dan interaksi konkret. Namun sayangnya, mereka justru dijejali ceramah panjang tentang etika, moral, dan budi pekerti yang terlalu abstrak.
Bagaimana anak bisa memahami makna gotong royong tanpa benar-benar diajak membersihkan kelas bersama? Bagaimana mereka bisa belajar toleransi jika tidak merasakan keberagaman dalam kelompok bermainnya? Lebih parah, anak dari latar belakang ekonomi lemah kadang dicap “tidak berkarakter” hanya karena tidak sesuai standar nilai kelas menengah. Ini kekeliruan fatal.
4. Seragam di Tengah Keunikan dg Pendekatan “One-Size-Fits-All” yang Tidak Adil
Setiap anak unik. Latar belakang keluarga, budaya, dan kondisi psikologis berbeda-beda. Namun banyak program karakter menerapkan penghargaan dan hukuman yang seragam.
Anak introvert dianggap tak peduli karena tidak aktif di kegiatan ramai. Padahal, empati dan kontribusinya mungkin hadir dalam bentuk kecil yang tidak kasat mata. Sistem seragam ini mereduksi karakter menjadi sekadar perilaku tampak, bukan kesadaran mendalam.
5. Orang Tua dan Komunitas mrupakan Pilar Terabaikan
Karakter bukan monopoli sekolah. Keluarga dan masyarakat adalah lingkungan utama pembentuk karakter anak. Namun, banyak sekolah melupakan sinergi ini.
Sekolah melarang kekerasan, tetapi anak tumbuh di rumah yang penuh bentakan. Sekolah mengajarkan empati, tetapi lingkungan sosialnya justru mengagungkan kekuasaan dan kompetisi. Tanpa pelibatan keluarga dan komunitas, karakter hanya akan menjadi kebingungan konseptual bagi anak.
Dampak Negatif: Pendidikan Karakter yang Keliru Justru Merusak
Anak menjadi apatis dan munafik: karakter baik hanya ditunjukkan saat diawasi.
Makna karakter menjadi tempelan rapor: tidak membentuk kepribadian sejati.
Ketimpangan moral: yang tampak “berkarakter” belum tentu berintegritas.
Keterputusan nilai: nilai tidak tumbuh dari kesadaran, tapi dari tekanan.
Conth Kasus Representatif
Ilustrasi 1: Siswa SD wajib mengikuti kegiatan karakter pukul 6 pagi (berdoa, senam, membaca puisi). Ia melakukannya setiap hari dengan ekspresi bosan dan lelah bukan karena mengerti, tapi karena takut dimarahi.
Ilustrasi 2: Seorang siswa dianugerahi “paling jujur” di sekolah. Namun di rumah, ia terbiasa memanipulasi informasi untuk menghindari hukuman. Ini menunjukkan disonansi antara "karakter simbolik" dan karakter sesungguhnya.
Membangun Kembali: Solusi Humanis, Kontekstual, dan Berbasis Teknologi
1. Keteladanan sebagai Fondasi
Karakter dibentuk dari apa yang anak lihat setiap hari. Guru, kepala sekolah, dan staf harus konsisten menampilkan karakter yang diajarkan. Tanpa itu, semua teori menjadi ilusi.
2. Pendekatan Kontekstual dan Humanis
Metode harus disesuaikan dengan latar belakang siswa. Guru perlu memahami emosi, kondisi keluarga, bahkan trauma anak. Empati mendahului metode.
3. Proyek Nyata dan Refleksi
Libatkan anak dalam proyek konkret bersih kelas, bantu teman sakit, diskusi damai. Lalu ajak mereka merefleksikan nilai yang dirasakan.
4. Sinergi Kuat dengan Keluarga dan Masyarakat
Adakan forum orang tua, pembekalan nilai bersama, kunjungan rumah, dan kegiatan lintas komunitas. Pendidikan karakter tidak boleh sendirian.
5. Budaya Sekolah yang Ramah dan Aman
Anak butuh rasa aman untuk berkembang. Tidak ada karakter yang tumbuh di bawah tekanan atau rasa takut. Sekolah harus menjadi zona nyaman belajar dan bertumbuh.
6. Asesmen Karakter yang Holistik
Tinggalkan model penilaian ketaatan semata. Gunakan observasi perilaku, portofolio reflektif, atau catatan anekdot untuk menangkap kedalaman nilai yang terbentuk.
Deep Learning sbagai Teknologi untuk Mendukung, Bukan Menggantikan
Teknologi, khususnya Deep Learning (DL), dapat memperkuat pembelajaran karakter jika digunakan dengan bijak:
Personalisasi Pembelajaran: DL bisa merekomendasikan cerita, simulasi, atau proyek karakter berdasarkan pola minat dan perilaku siswa.
Asesmen Karakter Berbasis NLP: Menganalisis jurnal siswa, percakapan digital, atau interaksi kelas untuk memberi insight tentang perkembangan karakter.
Simulasi Etika dan Moral: DL dapat membuat game edukasi yang merespons keputusan siswa dan memberi pengalaman emosional atas konsekuensinya.
Kurasi Konten Inspiratif: Sistem DL dapat menyarankan konten (video, artikel, podcast) yang sesuai dengan perkembangan nilai siswa.
Namun, perlu dicatat: DL bukan pengganti guru. Etika, privasi, dan bias harus menjadi perhatian utama. Teknologi hanya pelengkap, bukan pusat.
Waktunya Bergerak Melampaui Jargon
Pendidikan karakter bukan hiasan kurikulum. Ia adalah jantung dari pendidikan sejati. Sudah waktunya kita melampaui retorika, menembus formalitas, dan berani melihat praktik yang keliru.
Dengan keberanian untuk berefleksi, kemauan untuk berubah, dan pemanfaatan teknologi secara bijak, kita bisa menciptakan ekosistem pendidikan karakter yang otentik, relevan, dan membentuk manusia seutuhnya bukan hanya siswa yang patuh, tetapi pribadi yang berintegritas, empatik, dan tangguh.
Catatan Redaksi: Artikel ini ditulis untuk mendorong dialog kritis, reflektif, dan konstruktif dalam dunia pendidikan Indonesia. Setiap pihak guru, kepala sekolah, orang tua, komunitas, dan pembuat kebijakan memiliki peran penting dalam membangun masa depan karakter bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI