Mohon tunggu...
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Peneliti di Collective Academia/ Co-Founder/ Koordinator Bidang Religious dan Cultural Studies; Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pengantar Hermeneutika Gadamer

25 Maret 2020   14:45 Diperbarui: 25 Maret 2020   15:05 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://media.gettyimages.com/

PENGANTAR HERMENEUTIKA GADAMER

m.rodinal.k@mail.ugm.ac.id

Berkenalan dengan Gadamer

Gadamer lahir pada 11 Februari 1900 di Marburg, Jerman, dan tumbuh dari lingkungan keluarga protestan. Kultur keilmuan di dalam keluarga Gadamer dikentalkan oleh ayahnya, Johannes Gadamer, seorang profesor bidang Kimia dan peneliti ilmu alam di Universitas Marburg. Johannes Gadamer telah mencoba memengaruhi interes Hans-Georg Gadamer pada ilmu-ilmu alam dengan meyekolahkannya di Gymnasium Heilige Gheist yang mengembangkan teknik dan ilmu alam. Gadamer pada kenyataannya tidak mengikuti keinginan ayahnya, serta lebih menyukai filologi dan teologi (Sitharesmi, 2018:41).

Membahas tentang biografi seorang filsuf memang tidak semenarik membahas ide-ide filosofisnya. Dapat pula ditarik relevansinya dalam pengandaian berikut, bahwa apakah seorang novelis fenomenal benar-benar juga mempraktekkan tokoh-tokoh yang ia tulis menjadi aktivitas sehari-hari? Serta seberapa besar pengaruh orang-orang terdekat Gadamer di dalam membentuk pemikriannya---pertanyaan yang berlaku juga pada filsuf lain. Pertanyaan semacam itu nampaknya dapat dijawab dengan unik dan mendalam oleh Gadamer yang juga diulasnya di dalam karya-karyanya tentang hermeneutika maupun basis dari pendirian hermeneutisnya (Khasri, 2019: 46).

Momen yang sangat menentukan dalam perkembangan teori hermeneutika modern terjadi pada tahun 1960 dengan dipublikasikannya buku Wahrheit und Methode: Grunzuge einer philosophischen Hermeneutik (Truth and Method: Elements of a Philosophical Hermeneutics) karya filsuf Heidelberg, Hans-Georg Gadamer. Dalam karya ini diulas secara kritis estetika modern dan teori pemahaman historis dari perspektif Heideggerian, juga merupakan sebuah hermeneutika filsafat yang bersandarkan pada ontologi bahasa.

Dalam telaah filosofisnya yang sangat kaya dan mendalam, karya ini hanya dapat dibandingkan dengan dua karya monumental lainnya tentang teori hermeneutika yang ditulis pada abad 20, yaitu karya Joaching Wach "Des Verstehen" dan karya Emilio Betti "Teoria Generalle della Interpretazionne". Setelah Betti, Gadamer tetap melanjutkan dan mengembangkan konsekuensi positif dan bermakna dari fenomenologi, dan secara khusu pemikiran Heidegger, untuk tujuan teori hermeneutikanya (Palmer, 2005:190-191).

Gadamer menggelari kerja dan karyanya bukan dengan "filsafat hermeneutis". "filsafat hermeneutika," atau "filsafat" saja, melainkan dengan "hermeneutika filosofis" untuk membedakannya dari hermeneutika yang selama ini dikenal. Bahkan filsafat bukanlah tujuan dari hermeneutika filosofis, namun filsafat itu sendiri merupakan sarananya. Dalam gaya hiperbolis, dapat dinyatakan bahwa apa yang selalu dituju oleh hermeneutika Gadamer adalah kehidupan (Muzir, 2008:38).

Hermeneutika filosofis bertugas untuk membuka secara lebar tentang dimensi hermeneutis ke dalam jangkauannya yang utuh dan penuh, membuka signifikansi fundamentalnya bagi pemahaman kita secara menyeluruh tentang dunia dan dengan begitu juga untuk menjelaskan beraneka bentuk di mana pemahaman itu termanifestasi: dari komunikasi interhuman menuju manipulasi oleh society; dari pengalaman personal individu di dalam masyarakat menuju proses di mana ia bertemu dengan masyarakat; dan dari tradisi yang dibangun oleh agama dan hukum, seni dan filsafat, menuju kesadaran revolusioner yang membuka tradisi melalui refleksi emansipatoris (Gadamer, 1977:18).

Gadamer sama sekali tidak menyediakan panduan ala buku How To, sebab menurut dia, hanya suara "Ada" yang bisa memberikannya. Karena "Ada" mesti didengar, maka tugas yang diembankan Gadamer pada dirinya adalah membantu pembaca karyanya agar mampu mendengar suara "Ada". Ia mengatakan bahwa "Apa yang saya coba lukiskan adalah mode pengalaman seluruh manusia tentang dunia. Dan pengalaman ini saya sebut dengan pengalaman hermeneutis."

Sayangnya "ada perubahan mengerikan dalam hubungan manusia dengan dunia. Kita berubah menjadi tuan, dan dengan begitu kita tak mampu lagi mendengar "Ada" kita. Ketulian tersebut membuat kita tak bisa menemukan jalan pulang. Kebangkitan agar kita punya kemampuan lagi untuk mendengar suara "Ada" adalah inti dari seluruh karya Gadamer (Muzir, 2008:38-39).

Hans-Georg Gadamer merupakan filsuf jerman yang memiliki kekhasan di dalam menelurkan pemikiran filsafatnya di bidang hermeneutika. Jika melacak latar belakang pemikirannya tentang hermeneutika, terdapat sosok Martin Heidegger yang tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan bangunan pemikiran filosofisnya, terlebih dalam bidang hermeneutika. Ia merupakan murid Heidegger sekaligus penyempurna Heidegger. Maka tidak heran jika corak hermeneutika yang dibangun oleh Gadamer sangat kental dengan pembahasan ontologis serta berbeda dengan corak hermeneutika sebagai metode, seperti yang melekat pada hermeneutika yang ditawarkan oleh Dilthey (Khasri, 2019: 50).

Dasar yang digunakan Gadamer di dalam membangun hermeneutikanya banyak ia ulas dalam bukunya yang berjudul Truth and Method. Ia mengawali bukunya itu dengan pembahasan tentang permasalahan metode (the problem of method). Ia menekankan pada pengaruh besar ilmu alam di dalam perkembangan filsafat (Khasri, 2019: 51).

The logical self-reflection that accompanied the development of the human sciences in the nineteenth century is wholly governed by the model of natural sciences. A glance at the history of the word "Geisteswissenschaft" shows this, although only in its plural form does this word acquire the meaning familiar to us (Gadamer, 2004:3).

Implikasi dari imperialisme ilmu alam terhadap ilmu kemanusiaan (human science/Geisteswissenschaft) adalah tuntutan untuk dapat membahasakan ilmu kemanusiaan dengan bahasa sains. Hal yang paling jelas dari keterpengaruhan itu adalah pada "refleksi-diri logis" yang merupakan bagian dari pembahasaan ilmu kemanusiaan dengan bahasa sains yang dilegitimasi sebagai hal yang ilmiah. Bisa dilihat contoh lainnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh para filsuf positivisme-logis yang berdampak pada penilaian bahwa apa pun yang tidak dapat dijelaskan dengan cara sains maka ia adalah meaningless. "Kultus" metode itulah yang dikritik habis-habisan oleh Gadamer melalui Truth and Method (Khasri, 2019: 51).

Komponen Hermeneutika Ontologis Gadamer

  • Bildung 

Bildung dalam bahasa Jerman bermakna kebudayaan yang membentuk formasi, sehingga terdapat hubungan yang kuat di antara anasir-anasir yang terhimpun membentuk formasi kebudayaan. Dalam penjelasan lain, bildung dapat dipahami sebagai pendidikan dan kebudayaan yang memengaruhi subjek, tentang bagaimana subjek berkembang, mengalami perkembangan, dan mengalami transformasi (Khasri, 2019: 28).

Gadamer (2004:8-9), menjelaskan bahwa konsep tentang Bildung mengindikasikan perubahan/transformasi intelektual yang mendalam. Hal penting pertama yang perlu untuk diperhatikan di dalam memahami Bildung adalah ide awal tentang "natural form" atau bentuk natural---yang mengarahkan kita pada penampilan fisik (external appearance) (bentuk anggota badan, dan bentuk pasti dari sebuah figur) dan secara umum mengarah pada bentuk-bentuk alami yang terdapat di alam, misalnya formasi pegunungan---pada waktu yang bersamaan terpisah dari keseluruhan bangunan pemikiran baru.

Setelah keterpisahan itu, Bildung secara intim terhubung dengan pemikian sebagai produk kultur dan secara khusus menunjukkan tentang upaya manusia di dalam mengembangkan potensi lahiriah dan kapasitasnya sebagai subjek yang dapat berpikir.

Manusia dikarakterisasikan oleh keterpisahannya dengan yang "langsung" dan yang "alami" di mana hal tersebut merupakan sisi intelektual dan rasional dari sifat alaminya. Dalam konteks ini, manusia juga tidak dideterminasi oleh kondisi alamiahnya---dengan demikian manusia membutuhkan Bildung. Sebagaimana apa yang telah disebutkan oleh Hegel tentang bentuk alamiah dari Bildung bergantung pada universalitasnya. Di dalam konsepnya tentang universalitas, Hegel menawarkan konsepsi yang utuh tentang keterkaitan pengalaman hidup berikut pemahaman tentangnya, dengan Bildung.

Universalisasi bentuk alamiah Bildung tidak terbatas oleh teori-teori Bildung dan bukan berarti hanya sebuah orientasi teori sebagai bentuk yang kontras dari suatu hal praktis, melainkan menyelimuti karakter esensial dari rasionalitas manusia secara menyeluruh. Hal itu merupakan alamiah universal dari Bildung manusia di dalam membangun dirinya sebagai makhluk intelektual universal (Gadamer, 2004:11).

Oleh karena itu, Bildung, sebagai proses universalisasi, merupakan tugas bagi manusia. Proses tersebut menuntut manusia untuk mengesampingkan partikularitasnya demi mencapai sebuah universalitas. Namun, Gadamer mengkritisi bahwa mengesampingkan hal yang bersifat partikular dalam kehidupan subjek merupakan hal yang agak sedikit negatif---sebagai manusia---karena berarti mengendalikan hasrat. Oleh karenanya, menuntut subjek untuk bebas dari kondisi sebagai objek hasrat serta bebas agar menjadi objektif (Gadamer, 2004:11).

  • Keterpengaruhan Sejarah (Wirkungsgeschichte) 

Bagaimanapun subjek, siapapun dia, dia adalah anak zamannya (lahir dari tradisi). Subjek tidak bisa menafikan peran sejarah dalam hidupnya (Khasri, 2019: 29). Gadamer secara eksplisit menjadikan analisis Heidegger tentang pra-struktur pemahaman dan historisitas intrinsik (Geschichtlichkeit) keberadaan manusia sebagai fondasi dan titik awal analisisnya tentang "kesadaran sejarah".

Menurut konsepsi Heidegger tentang pra-struktur pemahaman, kita memahami suatu teks, keadaan dan situasi yang ada, tidak dengan suatu kesadaran yang kosong yang secara temporer dipenuhi oleh situasi kekinian namun lebih karena kita bertahan dengan pemahaman kita, dan menggiring suatu maksud yang utama ke dalam permainan yang berkenaan dengan situasi, suatu cara pandang yang sudah mapan, dan "pra-konsepsi" ideasional tertentu (Palmer, 2005:208).

Hermeneutika Gadamer dan kritiknya atas kesadaran sejarah menegaskan bahwa masa lalu tidak seperti sebuah tumpukan kenyataan yang dapat dijadikan sebuah objek kesadaran, namun lebih sebagai sebuah arus di mana kita bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman. Dengan begitu, tradisi bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan kita namun merupakan sesuatu di mana kita berdiam diri dan sepanjangmana kita eksis; dalam kiasan yang sangat terkenal ia bersifat sangat transparan sebagai sebuah mediasi yang seolah-olah tidak terlihat pada kita---sebagaimana tidak terlihatnya air bagi ikan.

Bagi Heidegger dan Gadamer, bahasa, sejarah, dan keberadaan, semuanya tidak hanya saling berhubungan namun juga saling menyatu. Untuk itulah maka linguistikalitas keberadaan sekaligus merupakan ontologinya---"menjadi berada"nya---dan merupakan media historisitasnya (Palmer, 2005:208-209).

Konsekuensinya yaitu masa sekarang tidak dapat ditinggalkan begitu saja untuk masuk pada masa lalu; "makna" dari sebuah karya masa lalu tidak dapat dilihat secara menyendiri dalam term dirinya sendiri. Sebaliknya, "makna" karya masa lalu didefinisikan dalam term pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan kepadanya dari masa sekarang.

Bila kita memikirkan struktur pemahaman secara hati-hati, kita dapat melihat bahwa persoalan-persoalan yang kita tanyakan diarahkan oleh cara di mana kita memproyeksikan diri kita sendiri dalam memahami masa yang akan datang. Oleh sebab itu tidak ada interpretasi tanpa pra-anggapan.

Temporalitas masa lalu-kini-akan datang teraplikasi baik dalam pemahaman saintifik maupun non-saintifik serta bersifat universal. Di dalam ataupun di luar sains tidak akan terdapat pemahaman yang tanpa pra-anggapan. Di mana kita memperoleh pra-anggapan kita? Dari tradisi kita berada. Tradisi ini tidaklah berlawanan dari pemikiran kita sebagai sebuah objek pemikiran namun merupakan produk relasi, horizon, di mana kita melakukan pemikiran kita. Tetapi, kita tidak dapat memperoleh pra-anggapan kita sepenuhnya dari tradisi. Kita harus ingat bahwa pemahaman merupakan suatu proses dialektis interaksi pemahaman diri seseorang ("horizon" atau "dunia"nya) dengan apa yang ditemuinya (Palmer, 2005:215-216).

  • Fusi Cakrawala (Verschmelzung von Horizonten) 

Ketika subjek membaca teks tentang suatu hal atau objek kajian, maka subjek akan berdialog dengan objek yang dikajinya pada situasi batin dan pikiran objek ketika dia menulis teks yang bersangkutan. Implikasinya yakni subjek harus tahu betul tentang latar belakang pemikiran ataupun tulisan yang dikajinya (Khasri, 2019: 31-32).

First of all, as a hermeneutical task, understanding includes a reflective dimension from the very beginning. Understanding is not a mere reproduction of knowledge, that is, it is not a mere act of repeating the same thing. Rather, understanding is aware of the fact that it is indeed an act of repeating (Gadamer, 1977:45). 

Bertitik tolak dari uraian pemikiran Gadamer di atas, dapat dipahami bahwa kegiatan memahami tidah hanya sekadar menghadirkan kembali ingatan masa lampau ke masa kini, dan juga tidak sekadar menghadirkan ulang pengetahuan lampau. Lebih dari itu, pemahaman merupakan modus eksistensi, yang bisa disamakan dengan cara manusia berada di dunianya.

Cara manusia berada itulah yang mengimplikasikan sebuah hubungan yang tak terelakkan antara subjek yang memahami dengan tradisinya, di mana tradisi tersebut merupakan horizon aktivitas berpikirnya sepanjang hidupnya sampai sekarang. Keterikatan pada tradisi juga mengimplikasikan pada adanya pra-asumsi yang selalu hadir bersamaan dengan proses "memahami" (Khasri, 2019: 32).

Pertemuan antara "memahami" dan "interpretasi" merupakan salah satu bagian di dalam permasalahan yang hendak dicari solusinya di dalam hermeneutika. Sebagai contohnya kita bisa lihat pada revisi aplikasi dari skriptur di dalam ke-imaman Kristiani yang sekarang terlihat sangat berbeda dari pemahaman sejarah dan teologis tentangnya.

Di dalam pembahasan mengenai refleksi diri kita, kita harus memperhatikan bahwa proses "memahami" selalu mengandung hal seperti di dalam memahami sebuah teks klasik agar sesuai dengan situasi interpreter di masa kini. Dari situlah kita bisa melihat bahwa tidak hanya "memahami" dan "interpretasi" saja yang berlangsung di dalam proses memahami, namun juga melibatkan aplikasi yang merupakan satu kesatuan proses (Gadamer, 2004a:306-307).

Keterikatan subjek dalam proses pemahamannya tentang sesuatu dengan cakrawala berpikirnya, berimplikasi juga pada klaim-klaim hermeneutik. Bagaimanapun klaim-klaim hermeneutik terlihat sangat bisa untuk menjadi klop, hal itu hanya bisa terjadi di dalam pengetahuan yang tak terbatas, yakni di dalam kesatuan yang dalam dari keseluruhan tradisi dengan kekinian (Gadamer, 2004a:337). Inilah yang disebut sebagai fusi cakrawala.

Refferensi

Gadamer, Hans-Georg. 1977. Philosophical Hermeneutics. Translated and edited by Linge, David E. Barkeley: University of California Press.

Gadamer, Hans-Georg. 2004. Truth and Method. Edited by Joel Weinsheimer and Donald G Marshall. Second, Re. London: Continuum.

Khasri, M. R. K. (2019). Peran Subjek dalam Pemikiran Transformatif Kuntowijoyo Menurut Perspektif Hans-Georg Gadamer (Thesis). Yogyakarta.

Muzir, Inyiak Ridwan. 2008.  Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Palmer, Richard E. 2005. "Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi." Translated by Musnur, Hery & Damanhuri, Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siswanto, Joko. (2016). Horizon Hermeneutika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sitharesmi, Riana Diah. (2018). "Bedoyo-Legong Calonarang Karya Retno Meruti Dan Bulantrisna Djelantik Dalam Perspektif Hermeneutika Hans-Georg Gadamer Relevansinya Dengan Estetika Seni Pascamodern." (Disertasi). S3 Program Studi Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun