Mohon tunggu...
Romano Supriyono
Romano Supriyono Mohon Tunggu...

Berusaha bermanfaat pada sesama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Bisa Menghambat Kreatifitas!

25 Maret 2013   23:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:13 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah dan belajar adalah dua hal yang berbeda. Untuk menjelaskan keduanya perlu deskripsi empiris berikut ini. Pengalaman Devita anak saya saat menjalani masa  sekolah di SMA, kegiatan yang dia  lakukan dan menjadi rutinitas keseharian adalah: di pagi hari mandi, sarapan, pakai baju seragam berikut sepatu seragam warna hitam. Kemudian berangkat mengendarai motor.

 

Mulai dari pagi  sarapan sudah disediakan oleh  ibu. Baju tinggal memakai, juga sudah terseterika rapi oleh pembantu. Sepatu bersih sudah tercuci oleh pembantu. Mengenai motor , sudah disiapkan sejak kelas satu SMA. Dan masalah servis motor, kerusakan atau ganti oli dibantu ibunya. Ini paket rutinitas menjelang sekolah yang sama sekali tidak ada unsure kreatifitas. Justru menumpulkan kreativitas karena telah tersedia semua tinggal pakai.

 

Menurut penuturan devita, setelah sampai di sekolah dan masuk kelas guru mengabsen satu persatu. Semua siswa duduk manis dan rapi. Yang tidak mengerjakan PR, teman lelakinya yang rambutnya gondrong dan yang sepatunya tidak seragam mendapatkan sanksi harus membersihkan kamar mandi. Tiap minggu ada saja yang terkena sanksi ini.

 

Saat jam pertama sang guru biologi menjelaskan anatomi tumbuhan, hewan dan manusia.  Siswa pasang telinga lebar-lebar mendengarkan dengan serius. Selanjutnya di akhir sesi  siswa diminta untuk mempelajari lebih lanjut di rumah dan menghafalkannya karena minggu depan ada tes materi tersebut. Jam kedua pelajaran kimia dengan guru berbeda namun sama juga metode mengajarnya seperti itu, hanya sedikit berlogika. Semua guru metode mengajar satu arah, guru berbicara siswa mendengar (panca indera siswa yang bekerja hanya telinga dan sesekali mata).

 

Ini paket saat berada di dalam kelas. Tidak ada unsur praktek maupun hal lain yang memacu kreativitas siswa karena di target selesai sehingga dijejali dengan kurikulum yang seabreg. Seakan siswa menjadi obyek dan korban tertimpa tumpukan mata pelajaran. Entah berguna atau tidak, entah relevan di kehidupan nyatanya kelak atau tidak,  tak masalah, yang penting tersampaikan sebanyak-banyaknya sesuai pesan proyek diatas, sejumlah proyek mata ajar. Wah….siswa jadi sasaran obyek sekaligus proyek. Kasihan ya, diperas otaknya!

 

Lain lagi dengan deskripsi tentang belajar. Nah, ini peran lain si Devita. Sepulang dari sekolah devita membantu ibunya memasak, karena kebetulan ibunya membuka usaha warung  makan. Sebelumnya Devita belum pandai meramu maupun  meracik bumbu dapur ,namun karena kemauan belajar dan ada yang mengajari yakni ibunya maka kini  sudah bisa memasak mulai dari masakan oseng, berkuah, sup iga sapi hingga ca kangkung. Bahkan masakan aneka seafood mulai cumi ,udang , kerang dan ikan telah dikuasainya.

 

Hari demi hari di laluinya dengan tekun. Sebelum masakannya disajikan ke tamu kalau sempat biasanya saya tes icip-icip dulu apakah keasinan, kemanisan atau sudah pas .Beberapa kali saya icip ternyata mantap, uenaaak sekali. Sehingga saya percaya Devita sudah bisa memasak hidangan untuk tamu pelanggan. Calon Chef dimasa mendatang!

 

Ilmu ketrampilan memasak yang didapat Devita tersebut adalah hasil dari belajar praktek langsung tanpa teori bertele-tele ,tanpa rumus kimia yang njlimet, tanpa kalkulasi matematis baik sinus cosinus maupun logaritma apalagi integral. Ini didapat bukan dari sekolah, tetapi dari dapur.

 

Namun penguasaan ilmu dan ketrampilan sederhana tersebut akan menolong dirinya sendiri kelak dalam menghadapi dunia nyata. Paling tidak dia sudah melihat, mendengar, merasakan dan mengalami sendiri bagaimana meracik bumbu sehingga menghasilkan masakan yang lezat. Merasakan  pasang surut, suka duka berwiraswasta dalam bidang usaha warung makan. Sekaligus tiga panca indera yang bekerja. Pengalaman empiris  mengatakan apabila kita hanya mendengar dan mendengar maka akan cepat melupakan. Namun jika kita mendengar, melihat dan melakukan sendiri maka akan ingat selamanya. Memori otak kita akan merespon sangat kuat jika pelibatan pancaindra semakin banyak, apalagi dilibatkannya anggota badan. Begitu sebaliknya.

 

Pertanyaannya adalah pengetahuan dan ketrampilan mana yang lebih berperan menolong kehidupannya kelak ketika lulus SMA seandainya tidak melanjutkan ke jenjang akademis yang lebih tinggi? Prestasi dan kompetesi apa yang yang  didapat selama 3 tahun wira-wiri ke sekolah?

 

Di saat yang sama , hanya memanfaatkan  sisa-sisa waktu pulang dari sekolah untuk belajar memasak justru mendapatkan pembelajaran yang bernilai sangat tinggi. Substansi dari visi misi  pendidikan yang melingkupi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik justru terimplementasi saat belajar memasak ini. Ilmu memasak dia dapat, kepribadian dan sikap sabar dalam menghadapi orang lain (tamu) dia dapat, ketrampilan meramu bumbu sehingga tersaji masakan yang lezat pasti dia dapatkan.

 

Bahkan muncul Kreativitasnya sendiri ingin membuat tampilan masakan yang beda. Kenapa? Hal ini karena dalam belajar memasak dia tidak tertekan, santai dan leluasa. Sehingga memicu dan memacu imajinasinya untuk menemukan sesuatu yang baru. Ibaratnya dia berhasrat menciptakan suatu permaian tapi tidak main-main. Otak kanannya mulai jalan.Ranah kreasinya mulai tercabik. Yang belum pernah dialami saat masa sekolah.

 

Jauh sangat berbeda dengan sekolah yang terkesan analitis, formal, kaku, tunduk patuh, tertekan, harus seragam dan harus ini itu yang sifatnya berpikir linier bersumber dari otak kiri.

 

Dari paparan kisah nyata di atas dapat ditarik benang merah bahwa menyelaraskan dunia pandidikan dengan dunia kerja tidak akan pernah selaras sejauh metode dan kurikulum masih seperti sekarang ini. Mengajar berbasis teori harus diubah berbasis masalah di lapangan sesuai kondisi lingkungannya masing-masing. Sehingga outputnya bisa membantu mengatasi persoalan minimal di daerahnya sendiri. Atau minimal lagi untuk mengatasi persoalan dirinya sendiri.

 

Untuk itu teori harus diganti dengan praktek lapangan untuk membahas permasalahan nyata di kehidupan ini. Mendiskusikannya di kelas untuk mencari solusi dari berbagai referensi. Siswa harus dipacu berpikir kritis sehingga muncul pikiran inovatif dan kreatif dalam mencari solusi. Pengajarnya harus terjaga kompetensinya. Semenjak SD Penjurusan siswa sesuai kompetensinya seharusnya sudah dilakukan. Sehingga siswa belajar dengan senang hati untuk menggapai jatidiri untuk  belajar menjadi dirinya sendiri. Kami optimis akan tercipta insane mandiri untuk menyelamatkan negeri ini.

 

Sebagai Penutup, lewat bimbingan belajar Primagama, Purdi E Chandra berhasil menjadi pengusaha sukses. Purdi nekat berhenti kuliah. Dia selalu menggembar-gemborkan bahwa sekolah menghambat kreatifitas. Bob Sadino juga pengusaha yang sukses berpikiran serupa. Banyak pengusaha sukses kelas dunia yang justru rendah  di jenjang pendidikan akademis, namun mereka terus belajar di lapangan dimana terdapat inti permasalahan kehidupan sekaligus terkandung peluang yang menjanjikan, bukan di sekolah.Karena sekolah bisa menghambat kreatifitas. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menginspirasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun