Mohon tunggu...
Robiansyah AmirulSidiq
Robiansyah AmirulSidiq Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Hallo, saya adalah mahasiswa akhir semester 8 di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang dengan Program studi Kependidikan bahasa asing yakni bahasa arab.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jejak Feodal Kampus

5 Juni 2023   15:29 Diperbarui: 5 Juni 2023   15:48 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jejak Feodal Kampus

Pendidikan merupakan bagian fundamental dari suatu bangsa. Maju tidaknya suatu bangsa bergantung dari pendidikan yang ada. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang selaras dengan nilai yang dianut oleh suatu bangsa/masyarakat. Sehingga terjadi keselarasan dalam pencapaian tujuan pendidikan bersama. 

Masyarakat kita yang memiliki sejarah feodal cukup panjang mempengaruhi aspek-aspek yang ada sekarang ini, termasuk salah satu diantaranya adalah pendidikan. Hal ini menjadi momok yang mengerikan seiring dengan kemajuan intelektual. Gen-Z yang merupakan bagian dari komunitas masyarakat kini mulai berbenah. Membuka kesempatan untuk mencapai kemajuan intelektual di masa mendatang, salah satunya dengan cara mendobrak feodalisme dalam dunia pendidikan. Hal ini masih menjadi perdebatan apakah konsep feodal yang ada masih relevan jika kita taruh didalam sistem pendidikan yang ada? Lalu, apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelestarian budaya ataupun pendangkalan intelektual? 

Kaitanya dengan psikologi perkembangan, berpikir kritis merupakan sebuah kepastian yang akan dialami sedari masa kanak-kanak. Meski demikian, masa kanak-kanak belum bisa menggunakan logika sepenuhnya. Berbeda dengan masa dewasa awal, pemikiran yang semakin kompleks dibarengi dengan keresahan-keresahan yang disebabkan oleh ketidakampuan individu dalam mengkonsepsikan apa yang terjadi dalam dirinya membutuhkan informasi sebanyak mungkin untuk bisa memecahkan keresahan yang ada dalam pikir.

Pendidikan sebagai jalan dalam memajukan kehidupan memerlukan fondasi yang kuat dibarengi dengan sistem yang fleksibel dalam mengikuti setiap zaman. Salah satu tujuan pendidikan adalah memandirikan individu yang artinya adalah siswa tidak lagi bergantung kepada seseorang untuk bisa menjalani kehidupanya sendiri. Dengan adanya seorang pendidik, setidaknya dapat memberikan informasi yang cukup guna pembentukan mental dan kepribadian yang matang pada anak sehingga kemandirian dapat dicapai. Kaitanya dengan berpikit kritis tadi, berpikir kritis merupakan alat yang digunakan individu dalam memecahkan permasalahan yang ada dan mencari solusi. Pendidik sebagai penjembatan siswa kepada pengetahuan seharusnya bisa mejadi wadah bagi anak didiknya bukan justru menjadikanya gangguan yang selalu mengentrupsi pikiran si pendidik. Hal ini yang masih menjadi polemik yang terjadi di dunia kampus maupun dunia pendidikan dibawahnya.

Sejatinya berpikir merupakan tindakan merusak pikiran. Hal ini dilakukan untuk bisa membentuk struktur kognitif yang baru sehingga dihasilkan pemikiran yang baru. Namun, yang terjadi di lapangan, keberanian seseorang dalam berpikir berhenti pada taraf sopan santun. Berpikir identik dengan tidak sopan, karena kebiasaan merusak, atau ketidak setujuan pada pemikiran orang lain dianggap mengganggu. Padahal sopan santun merupakan hal yang bersifat konkret, sedang berpikir sendiri bersifat abstrak, sangat tidak sesuai. Apakah bisa kiranya kita katakan para akademisi yang tidak mau diajak berpikir kita sebut dengan orang yang tidak pernah menggunakan nikmat Tuhan-nya yang disebut akal pikiran?

Sialnya, hal itu tergambar dalam ruang kelas yang telah Tuhan titipkan sebagai bagian ekosistem untuk para intelektualis yang seharusnya menjadi surga dunia dimana kita bisa berdialektika dengan sehat, namun justru menjadi ruang mendengarkan ceramah dengan informasi yang bersifat final. Mahasiswa tidak berani mengintrupsi pemikiran yang disampaikan dosen karena takut dianggap tidak sopan, Hal ini menunjukan bahwa tidak ada aktifitas berpikir. 

Jejak feodal tidak berhenti hanya sampai disitu, Dosen sebagai fasilitator mulai merangkap menjadi penguasa tahta kelas dengan dalih menggunakan gezag pendidik. Jika anda berpikir bahwa gezag pendidik itu penting dalam proses pendidikan, maka anda benar. Gezag atau kewibawaan yang dimiliki pendidik sangat menentukan kebermaknaan belajar. Namun, gezag disini tidak pernah menolak isi pikiran orang lain, justru dalam gezag pendidik diajarkan untuk bisa membersamai proses beajar, sehingga terjadi keharmonisan dalam ruang beajar yang nantinya mempengaruhi kebermankanaan pemebelajaran yang ada. Namun, kebebasan dalam berpikir tanpa dihantui penghakiman yang bersifat feodal masih mejadi hal yang menakutkan, atau bahkan kekhawatiran akan pengaruh nilai akademis subjektif yang tentunya diboncengi dengan hak otoritas dosen . Bagaimana bisa dosen mengklaim bahwa ini sebuah pemikiran jika tidak pernah diujikan dengan argumentasi? Tidak berani mengintrupsi pikiran merupakan bukti adanya feodalitas di dalam kampus.

Sekali lagi saya tekankan, bukan itu fungsi kita sebagai mahasiswa, bukan itu yang diakukan para pendiri bangsa yang kerap saling gebrak meja dalam berdebat untuk memberikan buah pemikiran bagi kemajuan bangsa namun bisa pulang berboncengan seperti kawan lama. Jangan pernah takut mengkritisi seseorang hanya karna pangkat dan jabatan yang dimilikinya, karna hanya dengan berpikir kritis kita masih dapat hidup dengan layak. Ingat, tidak akan berkembang tingkat intelektualitas kita hingga berpikir menjadi sebuah candu, dan argumentasi sebagai sebuah madu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun