Mohon tunggu...
robi kurniawan
robi kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

https://robikurnia1.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

4 Pelajaran Berharga di Balik Kontroversi Taksi Online

23 Maret 2016   20:39 Diperbarui: 3 November 2017   08:57 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber foto: pmstudycircle.com"][/caption]

Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil dibalik kontroversi taksi berbasis aplikasi online yang berujung aksi massa ribuan pengemudi kemarin, Pelajaran tersebut diantaranya:

1.   Peluang start up terkait dengan teknologi sangat besar

Kemajuan teknologi menghadirkan ceruk pasar baru. Umpan lambung ini dikonversi dengan sangat baik oleh perusahaan ride sharing berbasis aplikasi online. Pada dasarnya entitas mereka bukanlah perusahaan angkutan, melainkan perusahaan teknologi. Model bisnis ini memungkinkan perusahaan teknologi ini “memiliki” armada yang jauh di atas taksi nomer satu Indonesia sekalipun. Meskipun sebenarnya mereka tidak memiliki kendaraan. Jasa yang mereka jual adalah mempertemukan pihak yang ingin terlibat dalam ride sharing.

Konsep inilah yang menjadikan para pemain baru seperti Uber dapat menjegal dominasi penguasa pasar. Bloomberg akhir tahun lalu memaparkan valuasi Uber senilai $62 milyar. Angka ini menjadikannya most valuable private start up.

Tidak hanya sektor transportasi, mengawinkan teknologi dengan sektor yang dianggap konvensional pun sangat potensial. Pesan kambing kurban atau 5 kg bawang merah pun saat ini dapat didapatkan secara online!

2.    Economic sharing akan menjadi lifestyle

Secara karakateristik, taksi konvensional mempunyai fixed cost dan variable cost yang lebih besar. Hal ini merupakan implikasi status mereka sebagai perusahaan dengan ijin angkutan umum. Dengan kondisi ini mereka membayar pajak atau pungutan (terkait perizinan) yang lebih banyak dibandingkan dengan taksi baru berbasis online. Komponen fixed cost seperti, gaji karyawan, sopir sudah terlanjur tinggi. Dengan jumlah kantor cabang dimana-mana, fixed asset mereka juga (terlanjur) besar. Belum lagi armada dan asset fisik lainnya yang juga terdeprisiasi. Hal inilah yang kemudian dibebankan kepada konsumen sehingga tarif mereka lebih tinggi ketimbang competitor barunya.

Model bisnis ride sharing seperti Uber memungkinkan harga yang dibayar oleh konsumen lebih sedikit karena fixed dan variable cost yang minim. Hal ini disebabkan konsep sharing ini terbukti sangat ampuh untuk menekan cost. Hal ini tentu berbeda dengan taksi konvensional yang entitasnya adalah perusahaan angkutan.

Konsep economic sharing/ride sharing sepintas terdengar aneh dan rumit. Padahal kalau kita ingat kembali, dua beberapa dekade yang lalu kita masih menonton TV rame-rame di rumah Pak RT.

Sumberdaya alam semakin terbatas. Fitrahnya, manusia akan saling berbagi untuk dapat memenuhi kebutuhannya.

3.    Perlunya inovasi berkesinambungan meskipun usaha sudah matang

Laba perusahaan taksi konvensional seperti Blue Bird menunjukkan peningkatan drastic dalam beberapa tahun belakangan. Akan tetapi situasi berubah sangat cepat. Periode 14 Maret - 30 April 2015, saham BIRD ambrol 17 %. Pada akhir Oktober 2015 BIRD semakin menyusut hingga 45,96 %. Masuknya taksi berbasis online ditengarai ikut andil dalam tergelincirnya saham si burung biru.

Kondisi ini sebenarnya mirip dengan yang dialami pabrikan elektronika dari Jepang yang dilibas marketnya oleh para pendatang baru dari Korea. Teknologi mempercepat inovasi. Start up dengan ide brillian dapat menggerus pasar market leader yang lengah.

4.    Regulator harus cepat merespon perubahan

Fenomena share riding ini sudah booming sejak beberapa tahun lalu. Kenapa Pengambil kebijakan kita seakan gagap dalam mengantisipasi hal ini? Di beberapa negara, kemunculan model bisnis baru ini disikapi dengan regulasi baru. Mengingat perusahaan berbasis teknologi ini termasuk wilayah abu-abu. Tak terkecuali Amerika, tempat lahirnya model ini. Pemerintah America yang menggunakan “transportation network companies (TNC)” untuk mendefinisikan entitas ini. Mereka menyusun regulasi ini antara lain untuk melindungi konsumen. Oleh karena itu, di dalam regulasi ini juga diatur pemeriksaan terhadap latar belakang dan pelatihan bagi pengemudi, pembedaan antara karyawan penuh dan freelance, kebijakan asuransi, dan pemeriksaan kendaraan.

Renald Khasali menyatakan maraknya bisnis model berbasis aplikasi online ini menandai era crowd business. Era dimana batasan antara konsumen dan produsen menjadi sumir. Dalam tulisannya, beliau menekankan potensi dampak negatif dari perubahan model bisnis ini. Bertambahnya pengangguran karena gagal dalam persaingan bisnis model baru ini serta kerugian besar yang disebabkan berpindahnya konsumen dari usaha konvensional. Hal ini lah sangat mungkin terjadi jika pembuat kebijakan terlambat mengatur.

Di Indonesia, regulasi terkait transportasi adalah UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta PP 74/2014 tentang Angkutan Jalan. Peraturan ini ditujukan antara lain untuk perlindungan publik dan kepentingan negara. Pada regulasi ini Perusahaan Angkutan Umum didefinisikan sebagai: "Badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum".

Apakah regulasi ini dapat menjadi payung hukum bagi perusahaan teknologi berbasis aplikasi? Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Keuangan perlu segera duduk bersama membahas isu lintas sektor ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun