Mohon tunggu...
Roby Mohamad
Roby Mohamad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hanya tidur, bermimpi, bangun, melamun, dan satu lagi: jarang mandi! :P

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pos#7: Tafsir Shalawat dan Sejarah Nama Muhammad

31 Maret 2016   13:49 Diperbarui: 31 Maret 2016   14:30 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rutinan Pengajian Online Safinah di situs Kalam-Ulama.com"][/caption]بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ *

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُـحَمَّدٍ خَاتَمِ النَّبِـيِّـيْنَ *

“Bismillahir Rahmanir Rahim

Alhamdu Lillahi Rabbil ‘alamin, wabihi Nasta’inu ‘ala umurid Dunya wad Din * Wa shallallahu wa sallama ‘ala Sayyidina Muhammadin Khatamin Nabiyyin

*


Hanya dengan nama Allah yang Rahman nan Rahim

Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian semesta alam. Dan hanya dengan-Nya, kami memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama. Dan semoga Allah senantiasa bersholawat dan bersalam kepada Baginda kita Muhammad, sang penutup Nabi-nabi.”

***

Setelah basmalah dan hamdalah, Syekh Salim bin Sumair rahimahulLah wa nafa’ana bi ‘ulumihi melanjutkan dengan sholawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Keutamaan sholawat memang sudah banyak yang tahu. Karenanya, disini tak mengupas keutamaan tersebut. Silahkan, telaah tulisan atau buku khusus mengaji keutamaan sholawat.

Meski banyak yang telah bersholawat, adakah yang tahu apa makna sholawat dan salam itu sendiri? Sejak kapan sholawat disyari’atkan Allah untuk umat Muhammad? Disini kita akan sedikit menampilkan tafsir dari beberapa ulama’ lintas generasi. Setelah itu, sedikit kita pahami makna “Sayyidina”, dan setetes sejarah penamaan Nabi terakhir kita.

Insya Allah.

Tafsir Sholawat

Dalam bahasa Arab, lafadz sholawat untuk Baginda Nabi juga ditulis ash-shalat atau kata kerjanya “shallaa yushallii”, persis dengan ibadah salat. Hanya setelah kata ash-shalat/shalla ditambahin kata ‘alan Nabi atau semacamnya. Nah, untuk membedakan keduanya, ulama kita sangat kreatif. Salat ditetapkan sebagai ibadah salat, sedangkan ash-shalat ‘alan Nabi” dibahasakan dengan sholawat, diambil dari kata plural/jamaknya.

Pembahasaan sholawat ini bisa jadi terinspirasi dari sebuah hadits populer, yang kurang lebih terjemah literalnya begini: “Siapa yang “bersholat” kepadaku sekali, Allah akan “bersholat” kepadanya sepuluh kali.” Karena sekali sholawat saja dibalas sepuluh, jadilah kita ambil jamak-nya sholat, yaitu sholawat, untuk mengungkapkan “shalla ‘alan nabi” ini.

Ada sebuah kisah dari Sahabat Ibnu ‘Abbas. Kisah inilah yang mewartakan kita sejak kapan sholawat kepada Nabi disyari’atkan. Bahwasannya Bani Isra`il pernah bertanya kepada Nabi Musa ‘alaihis salam: “Apakah Tuhanmu “shalat”?”

Nabi Musa langsung mendapat wahyu:

“Hai Musa, mereka menanyakanmu: apakah Tuhanmu “shalat”?, maka jawablah; “Yaa, sungguh Aku dan para malaikat-Ku “sholat” untuk para nabi dan rasul-Ku.”

Dari latar sejarah Musa ini, lanjut Ibnu Abbas, akhirnya Allah pun menurunkan ayat sholawat berikut kepada Baginda Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam[1]:

﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56]

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Sang Nabi. Duhai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kalian untuknya, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Dan sekali lagi kita ingatkan, maksud shalat dalam kisah Bani Isra`il dan Ayat 56 Al-Ahzab ini berbeda dengan salat lima waktu.

Lantas, sejatinya apa, sih, sholawat ini?

Sahabat Ibnu Abbas menafsirkan kata “yushalluna” dengan yubarrikuna, “memberkahi”[2]. Sedangkan Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (w. 256 H) mengutip salah satu tokoh Tabi’in, Abul ‘Aliah (w. 93 H), bahwa maksud Allah bersholat disitu adalah Allah memuji Nabi dihadapan para malaikat, sedangkan shalawat yang dilantunkan para malaikat untuk sang nabi ialah doa untuknya[3].

Al-Imam Al-Ghazaly (450-505 H) mengartikan shalat dari Tuhan untuk sang Nabi dan untuk pembaca shalawat tersebut dengan “limpahan segala warna kemuliaan (karamah) dan kelembutan segala nikmat terhadap sang Nabi dan pembaca shalawat.” Berarti shalawat yang kita dan malaikat lantunkan, tulis Al-Ghazali, bermaksud untuk memohon dan berdoa sepenuh hati demi tergapainya kemuliaan tersebut dan Allah melimpahkannya kepada Baginda Nabi.[4]

Maka, dari semua tafsir diatas, ketika kita membaca “ShallaLlahu ‘ala Sayyidina Muhammad”, artinya kita tengah berdoa sepenuh hati: “Semoga Allah senantiasa memberkahi, memuji, memuliakan, dan melimpahkan segala kemuliaan-kelembutan nikmat-Nya kepada Baginda kita, Muhammad.” Bila shalawat diartikan dengan rahmah khusus yang diiringi rasa penghormatan, maka arti redaksi shalawat tersebut ialah “Semoga Allah merahmati Baginda kita Muhammad dengan rahmat yang diiringi penghormatan dan senantiasa menghidupkannya.”

Sejarah dan Fikih Shalawat

Ayat 56 Surat Al-Ahzab diatas termasuk Madaniyah[5]. Artinya, sholawat itu baru disyari’atkan setelah Nabi berhijrah ke Madinah. Tidak satu paket dengan kewajiban salat lima waktu, yang disyari’atkan saat Isra` Mi’raj, setahun sebelum Hijrah. Dan memang salat dan sholawat itu merupakan respentatif dari dua kalimat Syahadat. Bila syahadat pertama kita wujudkan minimal dengan salat lima waktu, maka apatah “ritual” untuk persaksian kita bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Yep, jawabannya adalah shalawat! Karenanya, sebagaimana salat, sholawat memiliki banyak sekali keutamaan. Sholawat sangat erat kaiatnnya dengan kualitas iman seseorang, berdampak pada masa depan dunia-akhiratnya. Merugilah yang pelit bersholawat, dan berbahagialah bagi yang dermawan bersholawat.

Dalam Ayat 56 Al-Ahzab diatas, perintah bersholawat bagi kaum beriman sangat jelas. Allah dan para malaikat-Nya saja bersholawat, masa kita yang ngaku beriman nggak, sih? Maka, yuk merajinkan diri untuk bersholawat sebab banyak sekali hadits dan pesan kesan ulama agar kita sering-sering bersholawat.

Bahkan, ulama sepakat atas kewajiban sholawat ini seumur sekali, laksana haji, dan sepakat atas banyaknya keutamaan sholawat. Atas tegasnya perintah sholawat dalam ayat 56 Al-Ahzab didukung dengan beberapa hadits Nabawi, Imam Syafi’i mewajibkan membaca sholawat saat tasyahhud akhir salat, berbeda dengan gurunya sendiri, Imam Malik yang sekedar menghukumi sunnah. Sholawat dalam madzhab Syafi’i juga merupakan rukun khutbah salat Jumat.

Selain wajib, sholawat lebih sering dihukumi sunnah. Diantara kondisi disunnahkannya sholawat antara lain, saat memulai belajar-mengajar, memulai tulisan seperti Safinah ini, mengawali dan mengakhiri doa, masuk dan keluar masjid, saat tasyahhud awal, dan di setiap waktu dan kondisi yang baik.

Meski sholawat itu sangat baik, namun ada beberapa kondisi yang tak baik untuk bersholawat, antara lain: saat akan bersetubuh, “buang hajat”, saat transaksi jual-beli, dan juga saat kita berada di tempat-tempat kotor, baik kotor secara fisik seperti toilet, atau pun maknawi seperti kasino. Wallahu a’lam[6]

Sayyidina sebagai Bentuk Penghormatan

Sebelum sejarah nama, ada yang bertanya: bolehkah kita menambahkan “Sayyidina” sebelum menuturkan nama junjungan besar kita, Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wasallam? Tentu saja boleh, bahkan sangat disarankan sebagai sopan santun kita kepada Baginda Muhammad Saw.[7] Jangankan Nabi, dalam sehari-hari sopankah kita memanggil bapak kita, ibu kita, atasan kita, guru kita, idola kita, hingga presiden kita, dengan hanya namanya saja tanpa imbuhan title penghormatannya? Jelas sangat tidak beradab, apalagi bila kita menyebut junjungan kita sendiri, manusia terbaik, dengan sekedar namanya tanpa pujian dan penghormatan terlebih dahulu.

Adapun hadits-hadits yang menunjukkan ketidaksukaan Nabi dipanggil Sayyid, itu semata-mata rasa rendah hati Baginda Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wasallam, bukan melarang kita untuk menyanjungnya. Mendahulukan adab tatakrama itu lebih utama daripada menuruti aturan. Sikap inilah yang diambil oleh para imam Mujtahid dan ulama-ulama saat mereka menyarankan kita untuk tetap menyanjung Rasulullah dengan Sayyidina atau gelar-gelar kehormatan lainnya. Niatnya adalah menjaga adab tatakrama dengan makhluk terbaik, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih konteks sekarang kita tengah bersholawat, mendoakan beliau, sudah sepatutnya kita beradab.

Dalam bahasa Arab, “Sayyid” itu merupakan gelar untuk orang yang memimpin sebuah kaum, simbol penghormatan bagi orang yang sangat banyak pasukannya, juga sapaan mulia atas seorang yang menjadi pelipur lara saat masyarakatnya mengalami banyak kesulitan, dan biasa disematkan untuk seorang penyabar yang halus-lembut hati tak mudah terpantik amarah. Keempat karakter terpuji ini semua tersimpul dalam sosok Baginda Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wasallam.[8]

Sejarah Nama Muhammad

Dan sekarang kita baru tilik sekilas sejarah di balik nama Muhammad. Tahukah, siapa yang memberi nama Muhammad? Sebab ayahanda nabi kita telah meninggal sebelum sang ibu melahirkan, akhirnya kakek Abdul Muthalib lah yang memberi nama Muhammad di hari ketujuh.

“Kenapa Anda menamainya Muhammad, padahal nama Muhammad ini tak berasal dari nama-nama nenek moyangmu dan tak pula berasal dari kaummu?”

Begitulah kira-kira pertanyaan yang sering terlontar dari para kerabat Abdul Muthalib saat pemberian nama ini.

Namun, apa jawaban sang kakek? Dengan penuh optimis, Abdul Muthalib melabuhkan harapan agung di balik penamaan ini:

“Aku berharap agar ia (bayi bernama Muhammad ini) senantiasa dipuji oleh para penghuni langit dan bumi.”

Dan sungguh Allah mewujudkan harapan mulia sang kakek ini.

Kisah ini sangat bermanfaat terutama bagi ayah ibu yang hendak menamai buah hatinya. Dalam agama Islam, nama itu sangat penting dan berarti. Maka, berilah nama yang baik, tiupkanlah harapan mulia ke dalam nama tersebut. Atas rahmat dan izin-Nya, Allah pasti mengabulkan.

Dan perlu kita ketahui, Syekh Salim penulis Safinah menulis sholawat di awal buku ini demi mengamalkan sebuah hadits Qudsy, “Duhai hambaku, engkau tak bersyukur kepadaku selagi engkau tak bersyukur kepada seseorang yang kualirkan segala jenis nikmat di hadapannya.” Dan tak ada keraguan sedikitpun, bahwa Nabi Muhammad lah perantara teragung bagi kita semua dalam segala nikmat.

Adapula hadits yang lebih jelas, “Siapa yang menuliskan sholawat kepadaku dalam sebuah buku, maka para malaikat akan selalu bersholawat kepadanya selagi namaku masih “kekal” di dalam buku tersebut.”[9]

Arti Khatamin Nabiyyin

Sedangkan, maksud dari Khatamin Nabiyyin ialah penutup para Nabi. Karena penutup, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang menyempurnakan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. Karena terakhir, tiada lagi orang yang akan diangkat nabi setelah Baginda Nabi Muhammad.

Hai, bagaimana dengan Nabi Isa yang akan Allah turunkan di akhir zaman? Jelas pengangkatan kenabian Isa ‘alaihis salam itu sebelum lahirnya Nabi Muhammad, jadi tidak bertabrakan dengan konsep khatamin nabiyyin ini. Lagi pula, saat kelak diturunkan, Nabi Isa’ takkan membawa syariat baru lagi, akan tetapi akan ikut menegakkan Syariat Rasulullah Baginda Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa sallam.

Bertepatan dengan hari Jumat, mari kita perbanyak sholawat. Sesekali pejamkan mata, dengan penuh penghayatan tafsir sholawat, seraya membayangkan perjuangan besar Baginda Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi.

Sungguh Nabi Muhammad berpesan dan menghendaki kita sebagai umatnya agar merajinkan diri bersholawat lebih banyak lagi di malam dan hari Jumat. Lalu, di akhir pesannya, beliau bersabda,

“Maka, sesungguhnya sholawat kalian ini akan dipertunjukkan kepadaku.”

Allahumma shalli wa sallim ‘ala Sayyidina Muhammad, khatamin Nabiyyin..

Wallahu a’lam bish Showab

Jumat Berkah, 18/03/2016 di Mahallah Zubair-IIUM, Kuala Lumpur

*) Ditulis untuk Pengajian Online Safinah (POS) Kmnu Iium dan Kalam Ulama

________________________________

[1] Tafsir Ibnu Katsir, 457/6.

[2] Shahih Al-Bukhari, bab firman Allah ayat 56 surat Al-Ahzab, sebelum no. 4797.

[3] Ibid.

[4] Sa’adatud Darain karya Syekh Yusuf An-Nabhani, hal. 44.

[5] Ibid.

[6] Ibid, hal 216.

[7] Untuk alasan lebih detail, silahkan telaah buku tanya jawab Imam Prof. Dr. Ali Jumah, Al-Bayanul Qawim li Tashhihi Ba’dlil Mafahim, hal.19-24.

[8] Nailur Raja` karya Sayyid Ahmad Asy-Syathiri, hal 6.

[9] Kanzul ‘Ummal, no. 2243.

 

Baca juga seri sebelumnya: POS#6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun