Di abad ke-21, pendidikan yang bermutu bukan hanya soal menyelesaikan kurikulum dan mengejar nilai ujian. Lebih dari itu, pendidikan harus menjadi ruang bagi siswa untuk belajar berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Di tengah derasnya arus digitalisasi, siswa Indonesia dituntut untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah nyata agar benar-benar siap hadapi tantangan abad 21.
Salah satu pendekatan yang semakin relevan adalah Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM). STEM mengajak siswa untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu demi menghasilkan solusi nyata. Bagi saya, STEM bukan sekadar jargon. Saya sudah mencoba menerapkannya di salah satu SMA Negeri di Kota Malang, dan dari sana lahirlah karya-karya siswa yang sederhana namun sarat makna: prototipe bor jantung, inkubator tempe, dan alat detektor tar rokok. Inilah kisah saya, kisah sekitar satu lustrum lalu, kisah di tanah kota apel, kisah sebelum saya kembali ke tanah kelahiran, mengemban amanah sebagai pendidik disini. Kisah sebuah kelas pembelajaran multidisipliner, kelas yang menghidupkan banyak jiwa, menyenai benih-benih pikiran yang mulai tumbuh dan sebuah panggung akademis yang mampu membawa siswa menghadapi dunia abad 21 mendatang. Saya akan membuka kisah dari materi Sistem Peredaran Darah (Sistem Sirkulasi).Â
## Bor Jantung: Ketika Sistem Peredaran Darah Menjadi Inspirasi
Diskusi pun berlangsung seru. Dari obrolan itulah lahir ide untuk merancang prototipe bor jantung sederhana. Awalnya, mereka membuat prototipe alat tersebut dari barang bekas, seperti kardus, sendok blender, dsb, yang selanjutnya mereka mengkomunikasikan ide tersebut dan cara kerja alat di depan kelas. Kegiatan proyek itu mereka lanjutkan dengan memanfaatkan motor kecil, pipa, dan bahan sederhana lainnya untuk mensimulasikan alat yang dapat menghancurkan plak di pembuluh darah. Tentunya ini bukan alat medis sungguhan, tapi semangat yang muncul luar biasa: siswa mengintegrasikan biologi (pengetahuan tentang arteri), fisika (mekanisme bor), dan teknologi (rangkaian listrik sederhana). Yang terpenting, mereka belajar bahwa ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan saling terhubung untuk menyelesaikan masalah kehidupan.
## Inkubator Tempe: Sains yang Membumi
Proyek kedua muncul saat membahas sistem pencernaan. Saya memulai dengan sebuah masalah sederhana: permintaan tempe yang terus meningkat, sementara proses fermentasi tradisional sering terkendala suhu dan kelembaban. 'Kalau kamu jadi peneliti, bagaimana caranya memastikan tempe bisa diproduksi lebih stabil?'
Dari pertanyaan itu lahirlah ide inkubator tempe. Mereka merancang kotak sederhana dengan sistem pemanas dan sensor suhu, agar proses fermentasi jamur Rhizopus lebih stabil. Di sini, konsep biologi (fermentasi), fisika (pengaturan suhu), dan teknologi (sensor sederhana) menyatu dalam satu karya. Lebih dari sekadar proyek kelas, inkubator tempe menunjukkan bahwa STEM bisa lahir dari konteks lokal. Dengan mengangkat makanan sehari-hari, siswa belajar bahwa ilmu yang mereka pelajari punya kaitan langsung dengan budaya dan kebutuhan masyarakat.
## Alat Detektor Tar Rokok: Kampanye Hidup Sehat
Proyek ini bertepatan dengan materi Sistem Pernapasan. Proyek terakhir lahir saat membahas topik bahaya rokok. Alih-alih hanya menghafal zat-zat berbahaya, saya menantang siswa untuk membuat alat sederhana yang bisa mendeteksi tar pada rokok. Dengan eksperimen menggunakan sensor sederhana, mereka berhasil merancang prototipe alat detektor tar. Hasilnya bukan hanya sebuah karya STEM, tetapi juga sarana kampanye. Mereka menunjukkan kepada teman-temannya bahwa asap rokok benar-benar mengandung tar, sehingga harus dihindari.
Dari sini saya belajar, STEM bukan hanya soal sains dan teknologi, tetapi juga bisa menjadi sarana edukasi moral dan kesehatan.
STEM di Indonesia: Antara Harapan dan Tantangan
Pengalaman di kelas saya sejalan dengan temuan banyak penelitian tentang STEM di Indonesia. Sebuah systematic literature review menunjukkan bahwa penelitian tentang STEM di Indonesia meningkat pesat sejak 2016, terutama dalam bidang strategi pembelajaran, media, dan evaluasi (Ramadhani et al., 2021). Artinya, ada kesadaran kolektif bahwa STEM penting untuk masa depan pendidikan kita. Penelitian lain menegaskan bahwa urgensi STEM di Indonesia terletak pada kemampuannya meningkatkan kreativitas, literasi sains, dan keterampilan problem solving siswa (Utami & Istiyono, 2021). Namun, implementasinya tidak mudah. Sebuah studi menemukan tiga hambatan utama: keterbatasan fasilitas, kesiapan guru, dan manajemen kelas yang heterogen (Wijaya et al., 2022).
Fakta lain yang menarik datang dari penelitian persepsi guru dan siswa: banyak guru setuju bahwa STEM itu penting, tetapi masih bingung bagaimana menerapkannya karena kurikulum nasional masih memisahkan mata pelajaran secara kaku (Rahmawati, 2020). Namun, kabar baiknya adalah, setiap kali STEM diterapkan, hasilnya konsisten meningkatkan keterampilan abad 21. Sebuah studi melaporkan bahwa siswa yang terlibat dalam proyek STEM menunjukkan peningkatan signifikan dalam berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi (Sari et al., 2021).
Refleksi dari Kelas Malang
Dari tiga proyek yang saya jalani bersama siswa, ada beberapa refleksi penting:
1. Siswa butuh ruang untuk bereksperimen. Kreativitas lahir saat mereka diberi kebebasan untuk mencoba dan gagal. STEM memberi ruang itu.
2. Guru sebagai Fasilitator, bukan sumber segalanya. Tugas saya bukan memberi jawaban, melainkan mengarahkan. Siswa lah yang menemukan, mencoba, dan menyimpulkan.
3. Keterbatasan justru menjadi sumber inovasi. Dengan alat sederhana dan biaya minim, siswa belajar bagaimana berkreasi. Keterbatasan justru mengasah problem solving.
4. Keterhubungan ilmu. Dari biologi ke fisika, dari teknologi ke matematika, semua terintegrasi dalam satu proyek. Inilah esensi STEM.
Pendidikan Bermutu: Jalan Menuju Abad 21
Karya siswa saya, bor jantung, inkubator tempe, detektor tar—adalah contoh kecil bagaimana pendidikan bisa bermakna. Mereka bukan hanya mempelajari konsep, tetapi juga menghidupkannya dalam karya nyata. Inilah yang saya sebut pendidikan bermutu: ketika siswa bukan sekadar lulus ujian, tetapi mampu menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan, berani berinovasi, dan berkontribusi pada masyarakat. Jika pendekatan STEM diperluas di sekolah-sekolah lain, saya yakin Indonesia bisa mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan abad 21. Tentu, butuh dukungan kebijakan, pelatihan guru, dan fasilitas. Namun pengalaman saya membuktikan bahwa bahkan dengan alat sederhana pun, siswa bisa melahirkan inovasi besar.
Penutup: Mari Bergerak Bersama
Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Dengan STEM, kita tidak hanya mengajarkan rumus dan teori, tetapi menanamkan keterampilan hidup yang esensial: berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Mari kita wujudkan pendidikan bermutu untuk semua dengan menghadirkan ruang eksperimen di kelas, mendukung guru untuk berinovasi, dan memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan potensinya. Jika siswa Malang bisa melahirkan bor jantung sederhana, inkubator tempe, dan detektor tar rokok, maka siswa di seluruh Indonesia pun bisa melahirkan inovasi serupa. Dengan begitu, pendidikan kita tidak lagi sekadar rutinitas, tetapi benar-benar menjadi bekal agar generasi muda siap hadapi tantangan abad 21.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI