Mohon tunggu...
Robert Fikri Ahmada
Robert Fikri Ahmada Mohon Tunggu... Guru Mata Pelajaran IPA

Robert Fikri Ahmada, guru mata pelajaran IPA SMP. Tertarik pada isu pendidikan, kebijakan sekolah, dan hak-hak siswa. Aktif menulis opini pendidikan dan refleksi pembelajaran sebagai bagian dari gerakan literasi kritis di kalangan guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Bermutu Lewat STEM: Dari Kelas di Malang hingga Tantangan Abad 21

27 September 2025   00:42 Diperbarui: 27 September 2025   00:30 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kelas STEM. Sumber: Dokumen pribadi

Di abad ke-21, pendidikan yang bermutu bukan hanya soal menyelesaikan kurikulum dan mengejar nilai ujian. Lebih dari itu, pendidikan harus menjadi ruang bagi siswa untuk belajar berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Di tengah derasnya arus digitalisasi, siswa Indonesia dituntut untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah nyata agar benar-benar siap hadapi tantangan abad 21.

Salah satu pendekatan yang semakin relevan adalah Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM). STEM mengajak siswa untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu demi menghasilkan solusi nyata. Bagi saya, STEM bukan sekadar jargon. Saya sudah mencoba menerapkannya di salah satu SMA Negeri di Kota Malang, dan dari sana lahirlah karya-karya siswa yang sederhana namun sarat makna: prototipe bor jantung, inkubator tempe, dan alat detektor tar rokok. Inilah kisah saya, kisah sekitar satu lustrum lalu, kisah di tanah kota apel, kisah sebelum saya kembali ke tanah kelahiran, mengemban amanah sebagai pendidik disini. Kisah sebuah kelas pembelajaran multidisipliner, kelas yang menghidupkan banyak jiwa, menyenai benih-benih pikiran yang mulai tumbuh dan sebuah panggung akademis yang mampu membawa siswa menghadapi dunia abad 21 mendatang. Saya akan membuka kisah dari materi Sistem Peredaran Darah (Sistem Sirkulasi). 

## Bor Jantung: Ketika Sistem Peredaran Darah Menjadi Inspirasi

Foto: Protoipe Rotablator/Bor Jantung. Sumber: Dokumen pribadi
Foto: Protoipe Rotablator/Bor Jantung. Sumber: Dokumen pribadi
Kelas biologi tentang sistem peredaran darah biasanya berjalan dengan hafalan: arteri, vena, kapiler. Namun, kali itu saya balik pendekatannya. Siswa saya ditantang untuk mencari solusi atas masalah penyumbatan arteri akibat lemak (Aterosklerosis). Pertanyaannya sederhana: 'Jika kamu seorang peneliti, apa yang bisa kamu rancang untuk mengatasi penyumbatan arteri?'

Diskusi pun berlangsung seru. Dari obrolan itulah lahir ide untuk merancang prototipe bor jantung sederhana. Awalnya, mereka membuat prototipe alat tersebut dari barang bekas, seperti kardus, sendok blender, dsb, yang selanjutnya mereka mengkomunikasikan ide tersebut dan cara kerja alat di depan kelas. Kegiatan proyek itu mereka lanjutkan dengan memanfaatkan motor kecil, pipa, dan bahan sederhana lainnya untuk mensimulasikan alat yang dapat menghancurkan plak di pembuluh darah. Tentunya ini bukan alat medis sungguhan, tapi semangat yang muncul luar biasa: siswa mengintegrasikan biologi (pengetahuan tentang arteri), fisika (mekanisme bor), dan teknologi (rangkaian listrik sederhana). Yang terpenting, mereka belajar bahwa ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan saling terhubung untuk menyelesaikan masalah kehidupan.

## Inkubator Tempe: Sains yang Membumi

Foto: Inkubator Tempe. Sumber: Dokumen pribadi
Foto: Inkubator Tempe. Sumber: Dokumen pribadi

Proyek kedua muncul saat membahas sistem pencernaan. Saya memulai dengan sebuah masalah sederhana: permintaan tempe yang terus meningkat, sementara proses fermentasi tradisional sering terkendala suhu dan kelembaban. 'Kalau kamu jadi peneliti, bagaimana caranya memastikan tempe bisa diproduksi lebih stabil?'

Dari pertanyaan itu lahirlah ide inkubator tempe. Mereka merancang kotak sederhana dengan sistem pemanas dan sensor suhu, agar proses fermentasi jamur Rhizopus lebih stabil. Di sini, konsep biologi (fermentasi), fisika (pengaturan suhu), dan teknologi (sensor sederhana) menyatu dalam satu karya. Lebih dari sekadar proyek kelas, inkubator tempe menunjukkan bahwa STEM bisa lahir dari konteks lokal. Dengan mengangkat makanan sehari-hari, siswa belajar bahwa ilmu yang mereka pelajari punya kaitan langsung dengan budaya dan kebutuhan masyarakat.

## Alat Detektor Tar Rokok: Kampanye Hidup Sehat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun