Sekolah sering diposisikan sebagai ruang pembentukan karakter, tempat nilai kejujuran, kepedulian, dan kebijaksanaan ditanamkan. Namun dalam praktiknya, kita masih sering menjumpai wajah ganda dari dunia pendidikan. Di satu sisi, ada guru yang disenangi murid karena sikapnya humble, ramah, gemar menyapa, dan menjalin hubungan akrab seperti keluarga. Murid merasa nyaman, bersemangat, bahkan lebih termotivasi untuk belajar. Namun ironisnya, hubungan semacam itu justru sering ditentang oleh sebagian pemangku kebijakan, wakil, atau bahkan guru lain. Mereka beranggapan bahwa guru yang terlalu dekat dengan murid akan kehilangan wibawa, membuat murid jadi bandel, dan hubungan itu harus dihapuskan. Pola pikir seperti ini menimbulkan pertanyaan serius: benarkah kedekatan guru dan murid merupakan ancaman? Ataukah justru sebaliknya, itulah inti dari pendidikan yang memanusiakan?
Dalam paradigma pendidikan modern, guru bukan hanya penyampai ilmu (transfer of knowledge), tetapi juga pendidik nilai (transfer of values) dan pembimbing kehidupan. UNESCO menekankan pentingnya humanizing education, pendidikan yang memanusiakan manusia. Ki Hajar Dewantara sejak awal abad ke-20 telah merumuskan filosofi pendidikan yang menegaskan peran guru sebagai teladan (ing ngarso sung tulodo), penyemangat di tengah murid (ing madyo mangun karso), dan pemberi dorongan dari belakang (tut wuri handayani). Filosofi ini jelas menuntut adanya kedekatan emosional antara guru dan murid.
Hubungan akrab tidak berarti meniadakan batas. Justru dari rasa percaya dan kedekatan itu lahir wibawa sejati: murid menghormati guru bukan karena takut, tetapi karena merasa dihargai dan diperhatikan. Murid merasa dihargai sehingga motivasi belajar meningkat. Terbangun trust yang membuat murid lebih terbuka dan mudah diarahkan. Lingkungan sekolah menjadi ramah dan mendukung kesehatan mental. Nilai karakter seperti empati, tanggung jawab, dan rasa hormat tumbuh lebih kuat. Meski demikian, ada risiko yang perlu diantisipasi. Kedekatan bisa disalahartikan sebagai mengurangi kewibawaan. Bila batas profesional tidak dijaga, berpotensi menimbulkan salah paham. Namun, risiko ini bukan alasan untuk menolak kedekatan. Yang dibutuhkan adalah pengelolaan yang sehat: kedekatan tetap dijaga dalam koridor etika, profesionalisme, dan aturan sekolah.
Penolakan terhadap hubungan dekat guru dan murid dengan alasan menjaga jarak adalah bentuk pola pikir feodal yang masih mengakar di sebagian lingkungan pendidikan. Pandangan seperti ini menganggap wibawa lahir dari "ketakutan" dan "jarak," bukan dari keteladanan dan kepedulian. Akibatnya, sekolah berubah menjadi ruang yang kaku dan menekan. Murid lebih banyak merasa takut daripada hormat. Padahal, pendidikan abad ke-21 justru menuntut sekolah menjadi ruang dialogis, di mana guru dan murid saling berinteraksi secara sehat, terbuka, dan setara secara manusiawi.
Kedekatan guru dan murid bukanlah sesuatu yang merusak wibawa, melainkan modal berharga untuk mencetak generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Bila hubungan ini dimusuhi atas nama "menjaga jarak," maka sekolah hanya akan menjadi institusi kering yang menanamkan rasa takut, bukan rasa hormat. Pada akhirnya, wibawa guru sejati tidak lahir dari jarak yang jauh, melainkan dari integritas, kepedulian, dan kasih sayang yang tulus kepada murid.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI