Mohon tunggu...
Robby Saragih
Robby Saragih Mohon Tunggu... Pengamat Kebijakan Publik

Berpikir Inovatif dan Progresif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Likuiditas Bank BUMN dan Tunjangan DPR: Ujian Kepercayaan Publik

14 Oktober 2025   01:43 Diperbarui: 14 Oktober 2025   01:43 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (Sumber: Anisha Aprilia )


Ketika pemerintah mengumumkan injeksi likuiditas Rp200 triliun ke bank-bank BUMN sementara untuk DPR menaikkan tunjangan reses dari Rp400 juta menjadi Rp700 juta, publik spontan bertanya: strategi ekonomi atau perayaan privilese? Dua kebijakan ini tampak berjalan di jalur berbeda---satu atas nama pemulihan ekonomi, satu lagi mengatasnamakan fungsi representasi---namun keduanya bermuara pada satu hal yang sama: kepercayaan publik terhadap arah kebijakan negara.

Likuiditas: Injeksi Keperluan atau Gambaran Ketidakpercayaan Pasar?

Langkah pemerintah menempatkan dana negara senilai Rp200 triliun di lima bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, BTN, dan BSI) bertujuan menjaga stabilitas likuiditas serta mempercepat penyaluran kredit ke sektor produktif. Namun, efektivitasnya masih diragukan. Data OJK (Juli 2025) menunjukkan pertumbuhan kredit nasional hanya mencapai 7,03% year-on-year, nyaris stagnan dibanding bulan sebelumnya. Artinya, meskipun dana tersedia, pelaku usaha masih menahan diri untuk meminjam akibat ketidakpastian global dan permintaan domestik yang belum stabil.

Ekonom Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kebijakan ini harus diikuti langkah fiskal dan reformasi struktural agar dampaknya nyata. "Likuiditas tanpa permintaan kredit ibarat mengisi air di ember bocor. Perlu kebijakan yang menutup kebocoran itu terlebih dahulu," ujarnya. Jika dorongan kredit tidak disertai perbaikan iklim investasi dan perlindungan usaha kecil, stimulus ini berpotensi hanya berputar di neraca bank tanpa menetes ke ekonomi rakyat.

Tunjangan DPR: Kebutuhan atau Beban Moral?

Di sisi lain, keputusan DPR menaikkan tunjangan reses menjadi Rp700 juta per anggota justru memperkuat persepsi bahwa elite politik hidup dalam ruang berbeda dengan rakyat. Padahal, dalam setahun terakhir, protes publik terhadap beban fiskal dan ketimpangan ekonomi semakin meningkat. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, belanja pegawai pemerintah pusat tahun 2025 tumbuh 8,4%, sementara realisasi belanja sosial justru turun 3,2% dibanding tahun sebelumnya.

Nurul Arifin, anggota Komisi I DPR, berdalih bahwa kenaikan tunjangan "diperlukan agar wakil rakyat dapat menjalankan fungsi konstitusionalnya secara maksimal". Namun, argumen ini sulit diterima publik tanpa transparansi hasil kerja yang terukur. Dalam iklim demokrasi digital, di mana masyarakat dapat mengakses gaji pejabat dan membandingkan kinerja legislatif dengan mudah, tunjangan tinggi tanpa akuntabilitas justru menciptakan jurang moral baru. Di tengah tekanan ekonomi, keputusan tersebut terasa seperti disonansi---nada sumbang di tengah orkestra krisis.

Konvergensi Kebijakan dan Krisis Kepercayaan

Jika disimak bersama, dua kebijakan ini mencerminkan bagaimana logika ekonomi dan politik kadang bertumbukan dalam satu waktu. Pemerintah berupaya menyalurkan dana ke sistem perbankan agar ekonomi bergerak, sementara parlemen meningkatkan kompensasi demi efektivitas fungsi politik. Namun di mata publik, keduanya terlihat seperti satu paket---elite ekonomi dan elite politik yang saling menopang dalam ekosistem tertutup.

Efeknya bukan hanya persepsi negatif, melainkan juga risiko menurunnya legitimasi kebijakan publik. Ketika rakyat melihat ketimpangan manfaat---di mana uang negara lebih mudah mengalir ke atas daripada ke bawah---kepercayaan pada sistem fiskal dan politik ikut tergerus. Pada titik ini, transparansi dan komunikasi publik menjadi satu-satunya jembatan untuk mengembalikan legitimasi yang mulai retak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun