Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelacur Dolly Itu Jujur

21 Juni 2014   19:27 Diperbarui: 23 Maret 2016   18:03 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kalau ada pertanyaan, "Kenapa Lokalisasi Dolly ditutup?". Jawabannya pasti, "Karena zina itu haram..maksiat harus diberantas!...merendahkan agama!....bla bla bla". Jawaban itu jelas benar..100% benar! Dolly memang HARUS dan WAJIB ditutup! Tapi jawaban tadi adalah jawaban yang lurus-lurus saja..linier.. kebanyakan jawaban yang saya baca di facebook dan media sosial lainnya. Jawaban yang akan diberikan sebagian dari rakyat Indonesia yang cara berpikirnya lurus. Sama seperti jawaban yang saya berikan saat ujian pelajaran Agama kelas 1 SMP dulu.

Ada baiknya kita mundur satu atau dua langkah, kita pahami dulu kenapa disebut Lokalisasi? Kenapa harus dilokalisir? Kenapa ada pelacur? Kenapa mereka jadi pelacur? Siapa yang punya cita-cita jadi pelacur? Dan seribu pertanyaan lainnya. Sebenarnya berbagai macam cara ditempuh untuk menutup Dolly sejak dulu. Perda Surabaya Nomor 7/1999 menyebutkan, dilarang menggunakan bangunan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan asusila. Namun belum ada satu pun trik yang ampuh untuk menutup Dolly.

Terakhir, Pemerintah Kota Surabaya menerapkan aturan batas waktu jam kunjung. Awalnya di gang tersebut beroperasi selama 24 jam, kini cukup sampai 15 jam. Bahkan, pemkot sedang menyiapkan pemasangan kamera pengintai (CCTV). Walikota sebelum Risma pun sebenarnya juga sudah berupaya keras untuk menutup Dolly. Cuman strategi yang dipakai Walikota-Walikota sebelumnya mungkin kurang maksimal atau strategi yang dipakai bukan menutup tapi melokalisir, membatasi ruang geraknya dengan aturan yang ketat dan mempersulit ijin pembangunan wisma dan sebagainya.

Walikota manapun pasti nggak rela kalau disebut pelegal pelacuran dan menutup mata pada kemaksyiatan. Dan penutupan yang dilakukan Risma yang sekarang ini bisa disebut sebagai Gong dari semua usaha penutupan dari Walikota-Walikota sebelumnya. Sebenarnya Dolly ditutup pun praktik prostitusi tetap akan ada, bahkan akan sulit terpantau. Dengan tidak terlokalisirnya PSK, penularan penyakit kelamin bisa dengan mudah menyebar.

Aturan wajib kondom dan suntik kesehatan setiap seminggu sekali, itu kan gunanya agar PSK dan pelanggannya tidak tertular penyakit. Kalau prostitusi itu kemudian sampai keluar lokalisasi, siapa yang bisa bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka?

Jadi ingat buku "Jakarta Undercover" karya Moammar Emka, tentang kehidupan prostitusi yang tumbuh subur di tempat-tempat hiburan 'bawah tanah' yang tak terjangkau aparat atau memang ada kongkalikong sama aparat . Lokalisasi Kramat Tunggak telah berhasil ditutup oleh Sutiyoso tapi lokalisasi yang berkedok tempat hiburan di atas masih banyak bertebaran di Jakarta.

Bukan tak mungkin di Surabaya juga terdapat tempat-tempat maksiat seperti itu. Pelacur Dolly itu sebenarnya lebih jujur dibandingkan para pezina yang terlihat alim diluarnya tapi kumpul kebo di sebuah wisma, hotel atau tempat-tempat remang. Juga dibandingkan dengan politikus yang kelihatannya memperjuangkan rakyat tapi ternyata untuk kepentingan isi kantongnya sendiri, 'melacurkan' diri untuk sebuah kursi. Dan pelacur Dolly melakukannya bukan untuk kesenangan semata tapi demi sesuap nasi. Bukan berarti saya membenarkan pelacuran..jelas bukan itu!.

Sejak jaman Majapahit pun praktek pelacuran itu sudah ada. Diberantas pakai model dan strategi apapun praktek prostitusi tetap ada di muka bumi ini. Dengan alternatif yang paling akhir, akhirnya praktek prostitusi dilokalisir, lokalisasi, dengan tujuan agar penyebaran penyakit kelamin tidak menyebar kemana-mana. Disamping itu juga karena masalah etika, nggak etis rasanya mereka menjajakan diri di tempat-tempat umum yang terbuka.

Penghuni Dolly sama juga seperti kita manusia yang harus bekerja demi menafkahi anak-anaknya. Mereka menjadi PSK akibat kebijakan negara yang tidak berpihak kepada perempuan dan warga miskin. Dengan kata lain mereka jadi pelacur karena tak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, terpaksa. Jadi bukan karena dorongan moral. Memang ada jenis pelcur yang memang sex mania. Biasanya mereka adalah pelacur kelas jetset atau bintang film bokep. Nggak buka lapak di lokalisasi kampung kayak Dolly.

Dan pada perjalanan berikutnya mereka terjerat, terbelenggu oleh para mucikari. Karena para pelacur ini dibeli oleh mucikari. Dan mereka harus bekerja untuk si mucikari tadi. Jangan dipikir kerja mereka enak. Cuman tidur, bercinta sebentar terus dapat uang banyak. Itu pikiran lugu kita yang tidak begitu memahami betul sikon di sana. Para PSK di Dolly sehari bisa melayani 7 pelanggan/lekaki. Itu baru sehari, berapa kalau seminggu? Kalau sebulan? setahun?

Kenikmatan model apapun kalau sudah jadi rutinitas dengan kwantitas yang berlebihan akan menjadi hal yang biasa, membosankan dan jadi beban yang luar biasa. Mereka bukan pezina yang kumpul kebo di sebuah kos, wisma atau hotel yang melakukan itu karena melampiaskan nafsu atau kesenangan semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun