Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Nadiem dan Anak Kampung

16 Desember 2019   17:35 Diperbarui: 16 Desember 2019   18:57 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku bukan Jokower (juga Prabower), tapi harus kuakui bahwa menteri pilihan Jokowi memang cadas. Dulu ada Susi Pudjiastuti yang terkenal dengan jargon "tenggelamkan!" Sekarang ada Erick Thohir yang mengosek bersih BUMN dan memasang Ahok sebagai komisaris utama Pertamina. Sip wis, apik Hir!

Para pejabat bedebah nggak bisa tidur tenang lagi. Perlahan tapi pasti akan ketahuan bajingannya. Mungkin akan bernasib sama kayak Ari Askhara, dirut Garuda yang lengser keprabon setelah ketahuan ngutil motor Harley Davidson dan pit onthel Brompton.

Di dunia pendidikan ada Nadiem Makarim yang merombak total sistem pendidikan yang sudah usang dengan kebijakan yang diistilahkan dengan "merdeka belajar". Bagaimana caranya proses belajar bisa membahagiakan guru dan siswa. Sesuai dengan konsep Taman Siswa yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, mbahe arek-arek.

Belajar itu harus bahagia. Yak opo carane kudu bahagia. Jadi kalau kamu belajar di sekolah tapi tidak membuatmu bahagia, yo muliho ae. Tapi merdeka belajar itu bukan kayak anak yang males belajar di sekolah, akhirnya belajar di mall. Yo gak ngono. Pokoke ojok sampek budal seger mulih rembes.

Yang pasti prestasi seseorang tidak lagi diukur dari nilai ujian nasional. Karena ujian nasional memang tidak menyentuh nilai karakter dan kemampuan kognitif siswa. Negeri ini nggak butuh siswa yang pinter menghafal.

Ojok salah paham. Ujian tetap ada, tapi bukan ujian nasional. Namanya orang belajar harus melewati ujian. Kalau mau hebat yang harus mau diuji. Untuk lebih jelasnya tanyakan ke Nadiem, aku gak eruh.

Tapi aku nggak ngurus rek. Monggo saja menggunakan kurikulum atau sistem apa saja. Sakarepmu Diem. Kurikulum atau sistem apapun tidak mesti bagus atau jelek. Semua tergantung pada orang-orangnya juga.

Kalau aku sih inginnya kurikulum yang membuat siswa bangga jadi masyarakat negara agraris. Bukan kurikulum yang melanggengkan hedonisme. Bukan kurikulum yang ingin menjadikan kita kayak negara China, Singapura, Jerman, Korsel, dan negara mapan lainnya.

Kita adalah kita, bukan mereka. Kita adalah negara agraris, bukan negara industri. Apesnya kita lebih bangga jadi masyarakat industri daripada masyarakat agraris. Profesi petani sudah nggak laku. Petani bukan profesi yang keren dan membanggakan. Semua ingin jadi pengusaha dan atau pegawai negeri.

Virus industrialisasi telah meracuni kota-kota rasa desa atau desa yang sok kota. Banyak sawah yang dijadikan destinasi wisata. Dibangun wahana hiburan. Ladang yang harusnya ditanami tanaman produktif malah ditanami bunga-bunga dari plastik. Dijadikan tempat selfie (eco park) yang istagramable.

Tanah Jawa yang sangat subur ini mulai berkurang lahan tanamnya. Karena orang lebih suka membangun wahana wisata, ruko, perumahan, hotel atau mall. Tidak ada regenerasi petani. Karena jadi petani nggak keren dan labanya kecil. Petani itu rembes, kotor dan mambu. Nggak kiyut kayak bintang pilem Korea.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun