Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Ustadz Abdul Somad dan Cak Nun

23 Agustus 2019   08:43 Diperbarui: 23 Agustus 2019   13:07 9650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tribunnews.com

Kalau semua pemuka agama ceramahnya divideokan (video amatir) bakalan banyak yang senasib dengan Ustadz Abdul Somad (UAS). Selalu ada satu dua kata yang keceplosan menyindir tokoh atau agama orang lain. Apa itu ustadz, kyai, pastur, pendeta, dan seterusnya. 

Pasturnya ngrasani ulama yang hobi poligami, ulamanya juga nyindir pastur yang nggak menikah, "Hidup sekali nggak menikah. Nggak tahu enaknya sihhhh.."

Dalam berdakwah, banyak tukang dakwah yang memakai "jalan pintas" untuk menunjukan kebenaran agamanya dengan "menjelek-jelekan" agama lain. Dan mereka tidak merasa menghina, biasa ae. Karena bagi mereka itu jalan untuk lebih meneguhkan iman. Karena ceramahnya tertutup untuk kaumnya saja.

Asline ngono iku rek. Hidup kalau tidak membicarakan orang lain iku nggak rame. Kerjaannya Tukang Dakwah yo ngono iku, kalau nggak ngrasani keyakinan orang lain, yo ngrasani pemerintah.

Ceramah-ceramah shalat jum'at banyak yang begitu. Menjelek-menjelekan budaya Jawa, "Nyadran itu bid'ah!  Larung sesaji itu syirik! Musyrik!" Padahal jamaahnya banyak orang tua yang masih mempraktekan tradisi budaya Jawa. Gak sopan blas. 

Itu biasanya ceramahnya Ustadz milenial yang nggak paham blas konsep budaya Jawa. Mereka-mereka yang tercerabut dari akar budayanya sendiri dan malah lebih Arab dari orang Arab.

Jadi menurutku nggak usah main lapor-laporan. Karena fanatismelah yang membuat masalah sepele seolah-olah besar dan gawat. Kayak kasus Ahok kemarin. Bagiku itu soal sepele, bukan penistaan. Penistaan opo. 

Penistaan agama itu kayak Salman Rushdie dengan bukunya "Satanic Verses" yang menghina Nabi Muhammad.  Atau kartun Nabi Muhammad di majalah Charlie Hebdo.

Tapi kalau mau dilaporkan ya monggo saja. Iku urusanmu karo UAS, aku gak ngurus. Dia nggak mau minta maaf nggak masalah, kalau minta maaf itu mulia.  Tapi orang biasanya gengsi untuk minta maaf dan nggak tertarik untuk jadi mulia, "Gak mulyo-mulyoan! Gak ngurus!"

Sori, aku nggak ngefan UAS. Walau ceramahnya lumayan, doi punya wawasan yang oke soal sejarah Islam.

Begitulah, tukang dakwah kalau ceramah kadang kala "terpeleset" lidah. Jangankan UAS, Cak Nun pun beberapa kali begitu. Tapi Cak Nun lebih pada ngrasani pemerintah, belum pernah aku mendengar Cak Nun menjelekan keyakinan agama lain.

Kalau kamu amati ceramah-ceramahnya Cak Nun, di situ pasti ada satu dua kata yang ngrasani pemerintah. Dan itu kadang nylekit banget. Kalau diframing bakalan banyak orang yang mencak-mencak.

Aku sampai sekarang juga penasaran, progresnya sampai mana orang-orang yang melaporkan Cak Nun dulu. Asline aku yo kepingin pol Cak Nun dipenjara rek. Pasti akan jadi epic moment of the year. Konyol jaya.

Nggak cuman jamaah Maiyah, bahkan Jin, malaikat, genderuwo pun pasti nggak percaya, "What the fuck!? Cak Nun dipenjara!???"

Manusia level pawang seperti Cak Nun susah untuk dipolisikan. Aparatnya sungkan nangani. Percoyo ae lah. Jasanya pada negeri ini terlalu buesarr kalau dibandingkan dengan kesalahannya yang  sepele (yang katanya menghina presiden itu).

Nggak cuman polisi atau aparat hukum yang segan, bahkan penjaranya pun bakalan sungkan menampung Cak Nun. Sipirnya juga bakalan mati gaya. Segan Ndes. Dan beliau lebih sangat dibutuhkan di masyarakat daripada di penjara.

Aku tahu Cak Nun itu bukan Nabi, bukan orang sakti, cuman manusia biasa. Dalam hidupnya nggak ada dikotomi berani dan takut. Melakukan sesuatu itu bukan karena takut atau berani. 

Ayam berkokok di pagi hari itu bukan karena berani, tapi memang ayam yang seperti itu. Matahari terbit di pagi hari juga bukan karena berani. Ya begitulah matahari. Takut hanya pada Tuhan.

Tapi iku Cak Nun rek, nek aku sik durung wani koyok ngono. Aku tipe manusia mediocrity, paham teorinya tapi nggak sungguh-sungguh mempraktekannya. Bahkan akeh gak iso nglakonine. Harap maklum, aku wong awam.

Wis talah percuma capek-capek memperkarakan Cak Nun. Beliau itu sesepuh, orang yang dimintai pendapatnya oleh para petinggi negeri. Kalau Kapolrinya saja curhat mesra sama Cak Nun, terus bagaimana bawahannya bisa mengamankan Cak Nun.

Nggak cuman dituakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, bahkan di dunia jin pun beliau disungkani. Tiap kali anak Kyai Kanjeng (kelompok musik yang mengiringi Cak Nun) menghadapi anak kesurupan karena kemasukan jin, Jinnya langsung keluar dari raga yang kesurupan, "Waduh! Anak buahe Cak Nun maneh, yo wis aku tak metu..." (aku pernah nulis soal ini dulu).

Gun Jack pernah minta perlindungan Cak Nun karena akan dijadikan kambing hitam atas kematian Udin, si wartawan Bernas itu. Gun Jack yang mantan preman tersohor Jogja  itu akhirnya lolos dari aparat yang akan menangkapnya    

Kesimpulane : ojok fanatik. Fanatik itu yang membutakan pandangan, mengerdilkan pikiran, dan sumbu pendek. Gampang digiring, diprovokasi, gampang mati.

Jangan dikira aku fanatik pada Cak Nun. Seandainya Cak Nun akan dibunuh orang pun, aku nggak akan repot-repot membelanya. Karena membunuh Cak Nun urusannya langsung dengan yang membuat Cak Nun, Tuhan. Dia lah yang akan membelanya.

Wis ah..

*Tulisan yang aneh, sebenarnya ini mbahas UAS apa Cak Nun?

-Robbi Gandamana-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun