Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pondok Pesantren "Google Nusantara"

18 Oktober 2018   16:09 Diperbarui: 18 Oktober 2018   16:12 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tag Foto : screenshoot google

Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara definisi pondok dan pesantren. Pondok merupakan tempat mengaji atau belajar agama Islam, sedangkan pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara definisi pondok dan pesantren. Keduanya sama-sama bermakna tempat dan ada proses belajar agama Islam.

Sejalan dengan definisi tersebut, menurut ketentuan Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PP 55/2007), disebutkan bahwa Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga  pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. PP 55/2007 tidak membedakan definisi pondok dan pesantren. Memang, definisi tersebut di atas lazim disebut oleh masyarakat dengan nama "Pondok Pesantren".

Berbeda dengan definisi kamus besar bahasa Indonesia, Pasal 1 angka (4) PP 55/2007 lebih teknis memberikan batasan definisi pondok pesantren. PP 55/2007 mendefinisikan pondok pesantren selain sebagai tempat mengaji (belajar agama Islam), juga ditambahkan unsur "berbasis masyarakat". Hal ini mengandung makna bahwa pondok pesantren bukan merupakan institusi pemerintahan, bersifat privat dan berorientasi pada kemanfaatan sosial.

Masyarakat umum, lebih banyak mengidentikkan pondok pesantren sebagai lembaga yang di dalamnya terdapat unsur Kyai, Santri, asrama dan berproses pada pendidikan agama Islam. Demikian mungkin yang lebih tepat menggambarkan morfologi pondok pesantren. Mengingat, pondok pesantren telah ada jauh sebelum Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya. Bahkan, tidak sedikit peran pondok pesantren dalam usaha memerdekakan Indonesia, sehingga masyarakat umum setidaknya telah mengenal pondok pesantren meski tidak mengetahui secara pasti definisi yuridisnya.

Seiring dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, banyak sekali dijumpai elemen masyarakat yang menyebut dirinya "santri". Terlepas apa dan bagaimana definisi santri yang sesungguhnya, jika mengacu pada makna pondok pesantren di atas, kiranya secara global dapatlah dikatakan bahwa santri merupakan seseorang yang belajar agama Islam di pondok pesantren.

Pondok pesantren dengan pola pembelajaran klasik yang merupakan ciri khas utamanya tetap mempertahankan model pembelajaran ini sebagai warisan turun-temurun. 

Di sisi lain, benih-benih pergeseran niat santri untuk belajar agama di pondok pesantren mulai mengemuka. Dipungkiri atau tidak, ada sebagian kalangan tertentu yang berada di pondok pesantren karena murah-meriah, dekat dengan kampus (mungkin juga dalam pondok pesantren telah ada perguruan tinggi), maupun alasan lain karena terdapat pendidikan formal di pondok pesantren yang menjanjikan pekerjaan bagi lulusan.

Esensi pembelajaran agama dalam bentuk transformasi keilmuan Kyai-Santri bahkan tak sedikit hanya menjadi niat sampingan. Padahal, ada tanggungjawab moral ketika santri telah dinyatakan lulus dari pondok pesantren. Masyarakat akan selalu menganggapnya sebagai sosok yang paham dalam ilmu agama. Kadangkala, setiap kali masyarakat menemukan masalah keagamaan, santri lah sasaran utama lontaran pertanyaan.

Bagi santri yang benar-benar berniat menimba ilmu di pondok pesantren, kitab-kitab agama Islam yang telah dikajinya dapat digunakan sebagai rujukan. Lantas bagaimana dengan yang hanya sekadarnya saja belajar di pondok pesantren? Tidak menjawab pertanyaan masyarakat dirinya merasa malu, akan dijawab juga kesulitan mencari rujukan. Maka, paradigma pragmatis mulai muncul. Memanfaatkan teknologi digital, bertanyalah pada "Mbah Google". Hanya untuk menutupi keterbatasan keilmuannya, karena telah tersemat pada dirinya gelar santri.

Ada juga yang tidak lulusan pondok pesantren, namun pandai berselancar digital sehingga mampu menjawab setiap pertanyaan masyarakat. Sanad-nya juga dari "Mbah Google". Lebih miris lagi jika kemudahan berteknologi tersebut menjadi alasan pokok menurunnya minat santri belajar di pondok pesantren. Cukup belajar di Pondok Pesantren "Google Nusantara".

Realitas tersebut meskipun kecil nilainya, ditemukan juga dalam kehidupan saat ini. Padahal, pembelajaran di dunia pondok pesantren terdapat nilai-nilai luhur disamping hanya memperdalam pengetahuan agama Islam. Hampir semua sisi kehidupan bermasyarakat diajarkan oleh kyai kepada santri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun