Lebih dari 35% pencari kerja di Indonesia mengaku gagal mendapatkan pekerjaan hanya karena faktor usia.Â
Data ini, yang diungkap detikcom, memperlihatkan bahwa sebagian besar pelamar kerja berusia 35-45 tahun kini menghadapi tembok tak kasat mata berupa batas usia yang dipasang banyak perusahaan2. Pertanyaannya, apakah "bonus demografi" yang selama ini dibanggakan Indonesia benar-benar akan menjadi bumerang jika pekerja senior terus-menerus dipinggirkan dari dunia kerja???
Menuju Tantangan Baru
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa proporsi penduduk usia produktif (15--64 tahun) Indonesia akan mulai menurun sejak 2024 dan terus berlanjut hingga 2030. Jika pada 2020 komposisi usia produktif mencapai 69,28% dari total penduduk, maka pada 2030 angka ini diprediksi turun menjadi 68,28%, dan terus merosot ke 64,88% pada 2050.Â
Sementara itu, penduduk non-produktif (terutama usia di atas 65 tahun) akan meningkat drastis, dari 6,16% (2020) menjadi 16,03% (2050). Implikasinya jelas: beban ketergantungan (dependency ratio) akan melonjak, dari 44,33% (2020) menjadi 54,13% (2050). Artinya, setiap 100 orang usia produktif harus menanggung beban hidup lebih banyak orang yang sudah tidak bekerja. Jika pekerja senior justru tersingkir, siapa yang akan menopang perekonomian nasional di masa depan?
Stigma Usia di Dunia Kerja
Diskriminasi usia di dunia kerja bukan sekadar isu lokal, melainkan fenomena global. Studi Eurofound (2023) menunjukkan bahwa 18% pekerja berusia 55--64 tahun di Eropa mengaku pernah mengalami diskriminasi usia di tempat kerja.Â
Di Indonesia sendiri, stigma ini makin terasa. Dalam wawancara singkat dengan beberapa pencari kerja "senior" di Batam dan Jakarta, mereka mengaku sering kali gagal di tahap administrasi hanya karena usia mereka dianggap "tidak lagi ideal", meski pengalaman dan kompetensi mereka sangat mumpuni. Salah satu narasumber, Pak Rudi (46), mengaku sudah melamar ke lebih dari 30 perusahaan tanpa hasil, meski rekam jejaknya di bidang logistik sudah lebih dari 20 tahun. "Batas usia jadi momok. Padahal, saya masih sehat, punya keluarga yang harus saya nafkahi, dan siap belajar teknologi baru," keluhnya.
Penelitian dari UIN Jakarta juga menegaskan, Indonesia belum memiliki regulasi eksplisit yang melindungi tenaga kerja dari diskriminasi umur. UU Ketenagakerjaan maupun UU HAM tidak menyebutkan diskriminasi usia secara tegas, sehingga perusahaan bebas mencantumkan batas usia maksimal tanpa dasar objektif. Padahal, Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 sudah mengamanatkan negara untuk melarang segala bentuk diskriminasi, termasuk berbasis usia.
Kebaruan Insight
Tren terbaru dari BPJS Ketenagakerjaan mengungkap fakta yang mencemaskan: klaim pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja berusia 45 tahun ke atas meningkat tajam pada 2024--20257. Data real-time menunjukkan bahwa kelompok usia ini paling rentan kehilangan pekerjaan, sementara peluang untuk mendapatkan pekerjaan baru kian sempit karena batas usia yang diterapkan perusahaan.Â
Survei online yang dilakukan GoodStats (2025) juga menemukan, lebih dari 60% perusahaan di Indonesia masih mencantumkan batas usia maksimal dalam lowongan kerja, terutama untuk posisi staf dan manajerial tingkat menengah. Praktik ini tentu menghambat hak pekerja senior untuk tetap berkontribusi di dunia kerja.
Umur Hanyalah Angka, Lalu Bagaimana Hak Kerja?
Apakah benar "umur hanyalah angka" cukup untuk menjamin hak kerja di Indonesia? Fakta di lapangan malah berkata sebaliknya.
Selama batas usia masih menjadi syarat utama dalam rekrutmen dan PHK, pekerja senior akan terus terpinggirkan, dan bonus demografi yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa justru bisa berubah menjadi beban.Â
Bagaimana pengalaman Anda menghadapi diskriminasi usia di dunia kerja? Apakah Anda pernah merasa tersingkir hanya karena angka di KTP? Bagikan kisah dan opini Anda di kolom komentar atau media sosial, dan mari kita dorong perubahan nyata untuk masa depan kerja yang lebih adil dan inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI