Mohon tunggu...
rizqy m farhan
rizqy m farhan Mohon Tunggu... Mahasiswa

hanya menjadi provokator dan kritik kepada diri sendiri, karena kita semua pada dasarnya adalah monster

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta: Modernitas yang Menggerus Identitas dan Budaya

21 Juni 2025   20:03 Diperbarui: 21 Juni 2025   20:10 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/photos/a-city-street-at-night-z5u1KA3isKE

Jakarta, sebuah kota yang tak pernah tidur, selalu memancarkan gemerlap janji dan asa bagi jutaan jiwa. Namanya menjadi sorotan sebagai episentrum ekonomi, budaya dan politik di Indonesia. Namun, dibalik kemegahan yang terpampang tersimpan sebuah realitas pahit yang semakin nyata. Jakarta kini bukan lagi rumah, ia telah menjelma menjadi stasiun besar para pelintas penuh lalu lalang tanpa pernah benar-benar singgah. Orang-orang datang dan pergi dengan kecepatan yang tak tertandingi, mereka tak lagi bernaung, mencari ketenangan atau membangun akar melainkan untuk memungut serpihan mimpi diantara reruntuhan jiwa kota. Jakarta telah menjelma menjadi hutan beton yang memerah susu ekonomi, sebuah arena pertarungan ekonomi dimana identitas lokal tergusur, tradisi dipoles demi estetika dan ruang hidup disulap menjadi properti semata.

Fenomena ini bukanlah narasi baru yang tiba-tiba muncul, ia sudah ada sejak era kemerdekaan bahkan jauh sebelum itu. Jakarta telah menjadi magnet bagi jutaan individu dari berbagai penjuru nusantara, mereka berbondong-bondong datang dengan satu tujuan tunggal yang menggebu yaitu mencari penghidupan yang lebih baik, mengejar mimpi kesuksesan yang diyakini hanya bisa diraih di kota ini. Dalam hiruk pikuk persaingan yang tiada henti, nilai-nilai kebersamaan, gotong royong dan rasa memiliki yang mendalam terhadap kota ini perlahan terkikis. Jakarta yang tadinya identik dengan kampung-kampung padat penduduk yang dihuni oleh masyarakat Betawi hasil dari sebuah intercultural, kini telah berubah wajah. Ruang hidup disulap menjadi properti yang menjulang, apartemen-apartemen megah membayangi pemukiman kumuh dan pusat-pusat perbelanjaan mewah menjadi simbol kemewahan yang seringkali tak terjangkau bagi sebagian besar penduduknya. Jakarta kini tak lagi dimiliki oleh warganya.

Jakarta dahulu identik dengan komunitas-komunitas lokal yang kuat dengan tradisi dan kearifan lokal yang terpelihara secara turun temurun, setiap sudut kota memiliki ceritanya tersendiri, setiap gang menyisakan jejak sejarah dan budaya yang kaya. Namun kini, ditengah gempuran modernisasi dan arus kapitalisme, tradisi dipoles dengan estetika semata. Warisan budaya yang berharga seringkali direduksi menjadi sekadar objek wisata, latar belakang yang "Instragamable" untuk menarik perhatian di media sosial atau hanya sekadar dekorasi untuk event-event komersial. Esensi dan makna mendalam dari tradisi itu seringkali terpinggirkan, ia hanya menjadi ornamen besar yang menghiasi panggung-panggung tanpa benar-benar meresap ke dalam jiwa kota.

Yang paling memilukan, mereka yang berdatangan ke Jakarta seolah tak lagi memiliki keingingan untuk mengenang atau menetap dalam arti yang sesungguhnya. Mereka adalah para pencari mimpi yang datang untuk menang, mengejar puncak keberhasilan, menantang kerasnya kota dan pada akhirnya mereka kembali pulang atau melanjutkan perjalanan ke kota lainnya. Jakarta menjadi sebuah arena, sebuah kompetisi yang kejam dan tanpa ampun, dimana yang kuat bertahan yang lemah terpinggirkan. Hubungan antara individu dengan yang lainnya di kota ini menjadi transaksional, Jakarta memberikan kesempatan dan imbalannya berupa keringat, tenaga serta seringkali pengorbanan nilai-nilai ideologis.

Pergeseran ini membawa dampak serius bagi struktur sosial kota, tingkat individualisme semakin tinggi, rasa kebersamaan yang menjadi suatu ciri khas masyarakat Indonesia perlahan memudar ditengah hiruk pikuknya pembangunan dan persaingan. Kesepian urban menjadi fenomena yang jamak, bahkan ditengah keramaian jutaan orang. Hubungan antar tetangga seringkali hanya sebatas sapaan basa-basi formal, tanpa ada ikatan emosional yang kuat. Lingkungan tempat tinggal, terutama di area perkotaan padat lebih menyerupai barak-barak transit daripada komunitas yang solid.

Lantas, bagaimana kita mendefinisikan Jakarta hari ini? Mungkin, Jakarta adalah sebuah paradoks yang kompleks. Ia adalah kota yang terus bergerak maju dengan kecepatan cahaya, bertransformasi menjadi pusat ekonomi dan bisnis yang tak terbantahkan di Asia Tenggara. Infrastruktur terus berkembang, gedung-gedung megah terus bermunculan dan denyut nadi inovasi tak pernah berhenti. Namun, dibalik itu semua tersimpan cerita-cerita yang hilang, tergerusnya rasa kepemilikan yang mendalam, pergeseran nilai-nilai kemanusiaan dan hilangnya identitas kota.

Jakarta adalah panggung besar yang tak pernah sepi, sebuah medan perang sekaligus taman bermain bagi semua kalangan yang datang untuk berlomba, bukan untuk pulang. Kota ini menawarkan peluang yang tak terbatas, namun dengan harga yang mahal esensi rumah perlahan menghilang. Akankah Jakarta bisa kembali menjadi rumah bagi warganya, tempat di mana akar dapat tumbuh dan hati dapat bernaung, atau ia akan selamanya menjadi terminal besar yang tak pernah benar-benar menaungi, hanya menyediakan persinggahan sementara bagi para pencari cuan? Tantangan ini bukan hanya bagi pemerintah kota, tetapi bagi setiap individu yang menyebut dirinya bagian dari Jakarta. Bagaimana kita bisa menyeimbangkan ambisi ekonomi dengan kebutuhan akan kebersamaan, identitas dan rasa memiliki yang esensial bagi kehidupan kota yang berkelanjutan dan manusiawi? Inilah panggilan bagi kita semua untuk merenung, apakah ambisi ini akan membangun kehidupan atau justru menghancurkannya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun