Mohon tunggu...
Rizqo Dzulqornain
Rizqo Dzulqornain Mohon Tunggu... Penulis - Merupakan mahasiswa program studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penulis aktif dengan fokus kajian hukum tata negara dan keislaman

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

DPR, Omnibus Law, dan Praktik Ijtihad: Telaah Singkat Perspektif Ushul Fiqh

30 Oktober 2020   20:57 Diperbarui: 30 Oktober 2020   21:08 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.klikwarta.com/

Pada tanggal 12 Oktober lalu, naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) telah disahkan oleh DPR menjadi undang-undang, untuk selanjutnya ditandatangani oleh Presiden. RUU Ciptaker sebagai peraturan negara mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan peraturan lain yang dikeluarkan oleh negara. Pro dan kontra pasti terjadi. Tidak semua elemen masyarakat akan langsung dapat menerima.

Sayangnya, ketidakterimaan itu acap kali diekspresikan dengan demonstrasi yang anarkis, kritik yang tidak konstruktif, bahkan juga narasi-narasi intimidatif yang menyimpan makna pesimisme di dalamnya. Yang menjadi sasaran kritik, dalam konteks ini, tidak hanya peraturan negara, namun di saat yang sama juga diperuntukkan bagi pembentuknya, yakni DPR. Terlepas dari hal tersebut, ada sebentuk kesadaran yang harus dipahami bersama secara kritis. Dapatkah peraturan negara yang dibuat oleh DPR dilihat sebagai hasil ijtihad yang pada dasarnya dihadirkan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapi oleh bangsa ini?

DPR sebagai Mujtahid?

Secara sederhana, mujtahid adalah orang yang melakukan aktivitas penalaran dan penentuan sebuah hukum (ijtihad). Seseorang apabila ingin membuktikkan kecakapannya dalam berijtihad dibutuhkan empat syarat: (1) menguasai ilmu bahasa arab; (2) menguasai ilmu Al Qur’an; (3) menguasai ilmu hadis; (4) menguasai cara kerja analogi/silogisme (qiyas). Dalam tradisi keislaman, seorang mujtahid apabila ijtihadnya benar akan mendapatkan dua pahala. Dengan rincian matematis, satu pahala atas ijtihad yang dilakukan, satu pahala atas kebenaran ijtihadnya. Adapun jika ijtihadnya tidak benar, maka ia hanya mendapat satu pahala.

Abdul Wahhab Khallaf, dalam Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, menegaskan bahwa memang benar seseorang dapat saja ahli dalam suatu bidang ilmu tertentu, namun tidak dalam bidang ilmu yang lainnya. Seseorang tidak bisa disebut mujtahid kecuali memiliki pengetahuan yang komprehensif terhadap kandungan Al-Qur’an dan Sunnah. Baik Al-Qur’an maupun Sunnah, dalam kajian hukum Islam, merupakan sumber primer dalam segenap proses pembuatan hukum.

Berdasarkan dari deskripsi di atas, dalam upaya penemuan dan pemutusan sebuah hukum, DPR dapat dilihat sebagai mujtahid. Ia memiliki peran dalam membuat hukum, yakni peraturan negara. Orang yang ingin menjadi DPR harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018. Terdapat syarat yang dekat dengan syarat mujtahid yakni:

(1) berpendidikan paling rendah SMA/MA/SMK sederajat;

(2) setia kepada Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian, persyaratan lain yang menujukkan DPR tidak memiliki kecacatan dalam bertindak adalah

(3) tidak pernah terpidana berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum mengikat;

(4) bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. Selain memenuhi syarat-syarat tersebut, agar dapat menjadi DPR harus terpilih dalam pemilihan legislatif yang dalam pemilihannya melibatkan peran seluruh warga negara Indonesia. Pada titik ini, orang-orang yang terpilih menjadi DPR bukan hanya ahli dalam suatu bidang ilmu tertentu, melainkan juga pengemban amanat atas suara yang diberikan rakyat.

Perancangan UU sebagai Proses Ijtihad

Pada dasarnya, ijtihad tidak dibenarkan jika perkara-perkara hukumnya telah tersurat dalam teks-teks keagamaan secara jelas dan pasti. Ijtihad menurut istilah ulama ushul fikih adalah proses pengerahan segala daya dan upaya untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalilnya yang terperinci. Jika kejadian yang hendak diketahui hukum syara’nya itu telah ditunjukkan oleh dalil yang jelas (sharih), petunjuk lafal dan maknanya telah diketahui secara pasti, maka ijtihad tidak boleh dilaksanakan.

Seorang mujtahid adalah pribadi yang memiliki otoritas dan kecakapan ilmu untuk menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadis, serta mempertimbangkan aspek pemufakatan (ijma’) dan penalaran hukum (qiyas). Dalam konteks beragama, Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber primer sebagai rujukan dalam segala bidang. Sedangkan dalam konteks bernegara, posisi tersebut diisi oleh UUD dan undang-undang.

Keduanya, dengan fungsinya masing-masing, sama-sama hadir sebagai pedoman hidup bagi manusia, yang satu sebagai pedoman beragama, yang satu sebagai pedoman bernegara. Perbedaannya, Al Qur’an dan Hadis merupakan wahyu Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak, adapun UUD dan undang-undang adalah hasil pemikiran manusia yang kebenarannya bersifat relatif.

Terlepas dari perbedaan fungsional tersebut, yang perlu disadari adalah tidak setiap orang memiliki kecapakan untuk membuat peraturan negara. Dalam pembentukan peraturan dikenal adanya kaidah stuffenbautheorie yang menghendaki bahwa peraturan dibentuk harus bersumber, berlaku, dan berdasar pada peraturan di atasnya. Hal ini sama seperti konsep ijma’ dan qiyas yang dalam prosesnya senantiasa mempertimbangkan Al-Qur’an dan Hadis.

Dengan demikian, secara sederhana, dapat diabstraksikan bahwa mereka yang duduk di bangku lembaga legislatif yang merumuskan peraturan negara (dalam hal ini undang-undang) merupakan para mujtahid di negeri ini. Kita sebagai warga negara, dalam konteks hirarkisnya, dapat memposisikan diri sebagai pihak yang mengikuti namun mengkritisi (mutttabi’) atau pihak yang menerima apa adanya (muqallid), karena dalam hal ini, kita tidak memiliki otoritas dan belum memiliki kecakapan ilmu sepeti halnya para mujtahid.

RUU Ciptaker sebagai Hasil Ijtihad

Omnibus Law sebagai istilah hukum pada awalnya belum dikenal oleh masyarakat secara luas. Namun, karena iklim investasi di Indonesia sedang buruk dan memerlukan perombakan besar-besaran pada sektor peraturan perundang-undangan, maka Omnibus Law sengaja dihadirkan oleh DPR sebagai salah satu langkah solutif.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh DPR terkait pembentukan UU Cipta Lapangan Kerja dengan metode Omnibus Law dapat dilihat sebagai bentuk penggalian dan penentuan hukum (istinbath). Karena hal tersebut merupakan salah satu tupoksi DPR. Sebab DPR sebagai mujtahid yang dianggap mengetahui permasalahan intinya, maka mereka pulalah yang memiliki otoritas untuk menyikapi dan menyelesaikan permasalahan hukumnya secara tepat. Pada titik ini, kita bisa memilih untuk menerima seraya mengkritisi, atau langsung menerima apa adanya.

Omnibus Law sebagai hasil ijtihad DPR, tentu tidak memiliki kebenaran yang absolut. Ia berhak untuk dikritisi. Namun, yang perlu disadari bersama adalah jika kita sebagai muttabi’ atau muqallid tidak memiliki pengetahuan yang komprehensif terkait Omnibus Law tersebut, tentu tidak dapat semena-mena melakukan kritik yang tidak konstruktif, apalagi sampai berbuat anarkis.

Upaya yang bisa kita lakukan sebagai warga negara adalah dengan mencari tahu secara mendalam kepada ahlinya (Q.S. An Nahl Ayat 43), sebelum menentukan sikap. Jikalau terdapat selisih pendapat, kita dapat menyelesaikanya dengan musyawarah (Q.S. Ali Imran Ayat 159). Dengan demikian, segenap tindakan yang dapat memicu kekacauan, anarkisme, dan perusakan fasilitas umum, dapat dilihat sebagai sikap yang tidak humanis dan jauh dari nilai-nilai religius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun