Hari ini, sebelum medan perang meluas.
Sebelum langit dipenuhi lagi oleh drone dan dentuman bom , rudal,
sebelum berita ini kehilangan wajah manusia,
aku ingin menulis ini, sebagai seniman, sebagai manusia juga.
Jika kamu adalah penulis, tulislah.
Jika kamu adalah pelukis, lukislah.
Jika kamu adalah pembuat film, rekamlah.
Jika kamu adalah konten kreator, refleksikanlah realitas masyarakat.
Jika kamu adalah penggiat media sosial, sebarkan pesan perdamaian.
Dan kalau satu satunya yang bisa kamu lakukan adalah berdoa itu pun sudah cukup.
Di masa kekacauan, seni adalah senjata paling sunyi,
tapi juga yang paling jujur.
Dan mungkin, satu-satunya hal yang tersisa
untuk mengingatkan kita bahwa kita masih manusia.
Seni Adalah Napas Terakhir Kemanusiaan
Di tengah suara tembakan, kadang hanya satu lukisan bisa menghentikan langkah dunia.
Kadang, satu bait puisi bisa menusuk lebih dalam daripada peluru.
Seni tidak bisa menghentikan perang, mungkin. Tapi ia bisa menjaga agar hati kita tidak mati sepenuhnya.
Ketika manusia saling membenci, seni mengajarkan kita untuk melihat wajah di balik luka.
Ketika politik membungkam, seni tetap bicara.
Bukan karena seni lebih kuat, tapi karena seni lebih jujur.
Ia tidak bicara untuk kekuasaan. Ia bicara untuk kebenaran.
Jangan padamkan empati.
Gunakan apa pun yang kamu punya---tulisan, warna, suara, bahkan air mata.
Karena ketika dunia membara, manusia yang masih mampu merasa adalah cahaya yang paling dibutuhkan.
Dan mungkin...
seni adalah satu-satunya doa yang bisa didengar oleh dunia yang tuli.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI